Fenomena Flexing Berbalut Tradisi Dalam Perspektif Bisnis dan Komunikasi

Flexing kini ramai menjadi pembahasan karena semakin maraknya fenomena pamer kekayaan, kemapanan dan kemewahan di media sosial.

zoom-inlihat foto Fenomena Flexing Berbalut Tradisi Dalam Perspektif Bisnis dan Komunikasi
ist
Ardian Setio Utomo, Dosen STMM MMTC Yogyakarta

*Oleh: Ardian Setio Utomo, Dosen STMM MMTC Yogyakarta

ISTILAH ‘Flexing’ kini ramai menjadi pembahasan karena semakin maraknya fenomena pamer kekayaan, kemapanan dan kemewahan di media sosial.

Perilaku ini mendapat banyak sorotan dari berbagai media online yang membahas istilah ‘Flexing’, termasuk dari pakar ekonomi, bisnis dan manajemen Profesor Rhenald Kasali, Ph.D. dalam videonya di YouTube yang menyebut perilaku flexing erat kaitannya dengan istilah ‘Conspicuous Consumption’ atau konsumsi yang sengaja ditunjukkan pada orang lain.

Perilaku ini dianggap suatu hal yang wajar, karena keinginan seseorang untuk menunjukkan dan membagikan momen keberhasilan atau kesuksesan yang diperolehnya kepada orang lain.

Namun alih-alih perilaku flexing menjadi suatu hal yang positif dan dapat memberikan motivasi kepada orang lain, perilaku tersebut justru banyak ditunjukkan pengguna media sosial dengan cara yang kurang sesuai.

Mulai dari kasus First Travel yang berkedok perjalanan Umrah, DNA Pro dengan robot trading, opsi biner melalui platform trading Binomo hingga praktik-praktik pencucian uang yang ramai diberitakan. Dimana para afiliator perusahaan tersebut seringkali menunjukkan perilaku flexing di akun media sosialnya.

Dari perspektif komunikasi, Profesor Deddy Mulyana, Ph.D. menuliskan 12 Prinsip Komunikasi dalam bukunya Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, salah satu prinsipnya yaitu komunikasi adalah proses simbolik.

Artinya setiap perilaku komunikasi yang dilakukan seseorang mengandung simbol, termasuk fenomena flexing yang ramai ditunjukkan pengguna media sosial.

Tidak hanya memamerkan barang-barang bermerk tetapi juga pencapaian yang tidak dimiliki orang lain. Umumnya pelaku flexing bertujuan menarik perhatian dengan menunjukkan sesuatu yang diinginkan oleh banyak orang.

Sejatinya perilaku flexing ini sudah menjadi bagian dari tradisi di Indonesia, dimana momen Lebaran yang sebentar lagi akan dirayakan umumnya dimanfaatkan oleh banyak kalangan untuk berbelanja baju baru dan mengkonsumsi kebutuhan tersier lainnya.

Hal ini menjadi sorotan yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Megawati Soekarnoputri yang mempertanyakan banyak orang kesulitan membeli minyak goreng tetapi bisa berbelanja pakaian Lebaran.

Fenomena ini menunjukkan salah satu praktik flexing di kalangan masyarakat, dimana berbelanja baju menjadi prioritas agar dapat digunakan ketika merayakan Lebaran dan memamerkannya ketika bertemu keluarga dan saudara.

Tidak hanya itu, pada momen Lebaran nanti juga media sosial akan diramaikan dengan unggahan momen kebersamaan di tengah keluarga, plesir ke berbagai tempat wisata hingga foto ragam sajian yang dihidangkan, mengingat tahun ini Pemerintah memberikan izin bahkan mengajak masyarakat untuk mudik dengan tetap menerapakan protokol Kesehatan serta memberlakukan aturan-aturan tertentu.

Untuk tidak melakukan praktik flexing dan mengikuti tren yang saat ini sedang berkembang sepertinya tidak mungkin untuk tidak dilakukan. Apalagi media sosial sudah menjadi media informasi utama yang digunakan banyak kalangan serta adanya dorongan untuk mengunggah suatu pencapaian seseorang yang tidak dimiliki orang lain juga menjadi alasan sehingga menjadi bagian dari tren tersebut.

Namun terlepas dari simbol dalam setiap unggahan di media sosial yang memiliki makna tertentu, masyarakat juga memiliki interpretasi yang berbeda mengenai praktik flexing yang ramai dilakukan di media sosial.

Seperti dikatakan Profesor Rhenald Kasali, Ph.D. di akhir videonya, praktik flexing sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan mewarnai keragaman informasi di media sosial.

Kesadaran pengguna media sosial dengan memberikan unggahan yang bermanfaat dan informatif menjadi tuntutan agar fenomena flexing menjadi hal yang bernilai positif, tidak merugikan serta membawa keberuntungan. (*)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved