Berita DI Yogyakarta Hari Ini

Klitih di Yogyakarta, Kriminolog UII : Utamakan Tindakan Pencegahan daripada Penanganan

Klitih bukan lagi kenakalan remaja, melainkan sebuah kejahatan karena telah menyakiti orang hingga menghilangkan nyawanya.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Suluh
Ilustrasi Klitih 

Sehingga, ia mengkritik terkait restorative justice yang tidak menyelesaikan masalah klitih di Yogyakarta.

“Apanya yang mau di-restore jika korban yang disabet sajam itu meninggal? Nanti pelaku malah menjadi santai dengan pemikiran bahwa polisi akan melakukan diversi, keluarga korban memaafkan. Kalau tidak memaafkan kan jalan terus itu pidananya,” terang Aroma.

Baca juga: Soal Klitih, Kabinda DIY : Tambah Patroli, Tempatkan di Daerah Rawan

Dia menerangkan, harus ada juga sosialisasi bahwa klitih bukan sesuatu yang bersifat menyenangkan.

“Disosialisasikan pada anak-anak, pada pelaku, mereka senang mengklitih, tapi itu tidak lucu dan siapa yang terlibat bisa dipidana,” terangnya.

Diketahui, restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak bertujuan untuk menghindarkan anak dari pemidanaan dan digantikan dengan pembimbingan. 

Melalui pendekatan restorative justice ini diharapkan pemulihan bagi korban dapat terealisasi, tujuan pemidanaan bagi pelaku akan berhasil dan ketertiban masyarakat pun dapat tercapai. 

Restorative justice merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan tujuan hukum. Keadilan yang akan diperoleh semua pihak, baik pelaku, korban maupun masyarakat.

Sementara, sampai saat ini di Indonesia, salah satu variasi mekanisme restorative justice adalah sistem diversi. 

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 

“Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak ini juga perlu memperhatikan hak-hak korban, tidak hanya hak anak yang juga menjadi pelaku kejahatan. Dengan kondisi ini, apa cocok kalau mau pakai restorative justice? Padahal ini berulang terus. Ini ada yang tidak pas di sini,” ungkapnya.

Baca juga: Marak Fenomena Klitih di Yogyakarta, Ridwan Kamil Bandingkan dengan Penanganan Geng Motor di Bandung

Sesuatu yang kurang pas, dikatakan Aroma, adalah bagaimana UU Perlindungan Anak mengimpelementasikan diversi.

Dia mengungkap, perkara anak bisa di-diversi apabila ia baru melaksanakan kenakalan satu kali.

Tetapi, dalam kasus klitih, diversi sebaiknya tidak dilakukan juga jika korban meninggal dunia.

“Saya tetap beropini, klitih ini bukan juvenile deliquency atau kenakalan remaja. Itu adalah kejahatan,” bebernya.

Aroma menambahkan, mungkin ada perasaan senang dari anak-anak pelaku klitih apabila tidak tertangkap polisi.

Mereka bakal merasa tertantang dan bahagia ketika melakukan aksi jahat tapi tidak ketahuan.

Kemudian, saat polisi mulai mencokoknya, mereka akan menangis meminta ampun.

“Sekarang, pikirkan korbannya juga, keluarga korban, mereka berhak punya masa depan,” tutupnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved