Berita DI Yogyakarta Hari Ini

Klitih di Yogyakarta, Kriminolog UII : Utamakan Tindakan Pencegahan daripada Penanganan

Klitih bukan lagi kenakalan remaja, melainkan sebuah kejahatan karena telah menyakiti orang hingga menghilangkan nyawanya.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Suluh
Ilustrasi Klitih 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kasus klitih di DI Yogyakarta semakin banyak terungkap dari hari ke hari.

Pihak kepolisian juga gencar melakukan patroli dan meringkus remaja yang kedapatan membawa senjata tajam.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Kriminologi Universitas Islam Indonesia ( UII ), Dr Aroma Elmina Martha SH MH mengatakan, pihak kepolisian memang perlu meningkatkan patroli, khususnya di daerah rawan tawuran pelajar maupun kejahatan jalanan seperti klitih .

“Bagaimanapun, pencegahan atau detterence itu lebih penting dilakukan daripada penanganan. Saya juga tidak suka melihat anak-anak dipenjara karena menghilangkan nyawa orang. Kalau sudah pernah menghilangkan nyawa orang, kita semua jadi susah,” bukanya kepada Tribunjogja.com , Jumat (8/4/2022).

Baca juga: Bahas Pergeseran Makna Klitih Dinilai Buang-buang Energi, Jogja Police Watch: Fokus ke Penanganan

Aroma menjelaskan, tindakan pencegahan yang bisa dilakukan diantaranya adalah sekolah dan lingkungan memperbanyak kegiatan untuk remaja, sehingga mereka tidak memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan negatif.

Kemudian, pihak polisi juga bisa memperbanyak CCTV di daerah-daerah yang rawan terjadinya tindakan kriminal.

“Harus ada penyetopan. Bisa juga ada kampanye bahwa klitih , menyakiti orang tidak dikenal dan bahkan hingga korban kehilangan nyawa, bukanlah suatu kenakalan, tapi juga kejahatan ,” paparnya.

Ia menjabarkan, anak-anak dan remaja harus tahu, apabila mereka sudah terlibat tindakan kriminal, maka mereka akan mengalami kesulitan mencari sekolah dan pekerjaan lantaran adanya stigma buruk.

Dijelaskan Aroma, remaja yang pernah melakukan klitih akan diberi label buruk hingga pembunuh dan itu akan melekat di pikiran orang-orang.

Dari stigma, remaja akan mendapat perlakuan yang buruk dari sosial.

“Berikutnya, kalau mereka sudah dapat stigma buruk, bisa saja mereka berpikir kenapa tidak sekalian menjadi penjahat. Kalau sudah seperti itu, sulit untuk menanganinya,” kata Doktor Hukum alumni Universitas Indonesia (UI) itu.

Aroma menilai klitih bukan lagi kenakalan remaja, melainkan sebuah kejahatan karena telah menyakiti orang hingga menghilangkan nyawanya.

Apalagi, banyak dari korban klitih adalah orang tidak mengetahui apa-apa.

Mereka sedang berkendara atau berjalan dan tiba-tiba disakiti dengan benda tajam oleh pelaku klitih.

Sehingga, ia mengkritik terkait restorative justice yang tidak menyelesaikan masalah klitih di Yogyakarta.

“Apanya yang mau di-restore jika korban yang disabet sajam itu meninggal? Nanti pelaku malah menjadi santai dengan pemikiran bahwa polisi akan melakukan diversi, keluarga korban memaafkan. Kalau tidak memaafkan kan jalan terus itu pidananya,” terang Aroma.

Baca juga: Soal Klitih, Kabinda DIY : Tambah Patroli, Tempatkan di Daerah Rawan

Dia menerangkan, harus ada juga sosialisasi bahwa klitih bukan sesuatu yang bersifat menyenangkan.

“Disosialisasikan pada anak-anak, pada pelaku, mereka senang mengklitih, tapi itu tidak lucu dan siapa yang terlibat bisa dipidana,” terangnya.

Diketahui, restorative justice dalam sistem peradilan pidana anak bertujuan untuk menghindarkan anak dari pemidanaan dan digantikan dengan pembimbingan. 

Melalui pendekatan restorative justice ini diharapkan pemulihan bagi korban dapat terealisasi, tujuan pemidanaan bagi pelaku akan berhasil dan ketertiban masyarakat pun dapat tercapai. 

Restorative justice merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan keadilan sesuai dengan tujuan hukum. Keadilan yang akan diperoleh semua pihak, baik pelaku, korban maupun masyarakat.

Sementara, sampai saat ini di Indonesia, salah satu variasi mekanisme restorative justice adalah sistem diversi. 

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. 

“Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak ini juga perlu memperhatikan hak-hak korban, tidak hanya hak anak yang juga menjadi pelaku kejahatan. Dengan kondisi ini, apa cocok kalau mau pakai restorative justice? Padahal ini berulang terus. Ini ada yang tidak pas di sini,” ungkapnya.

Baca juga: Marak Fenomena Klitih di Yogyakarta, Ridwan Kamil Bandingkan dengan Penanganan Geng Motor di Bandung

Sesuatu yang kurang pas, dikatakan Aroma, adalah bagaimana UU Perlindungan Anak mengimpelementasikan diversi.

Dia mengungkap, perkara anak bisa di-diversi apabila ia baru melaksanakan kenakalan satu kali.

Tetapi, dalam kasus klitih, diversi sebaiknya tidak dilakukan juga jika korban meninggal dunia.

“Saya tetap beropini, klitih ini bukan juvenile deliquency atau kenakalan remaja. Itu adalah kejahatan,” bebernya.

Aroma menambahkan, mungkin ada perasaan senang dari anak-anak pelaku klitih apabila tidak tertangkap polisi.

Mereka bakal merasa tertantang dan bahagia ketika melakukan aksi jahat tapi tidak ketahuan.

Kemudian, saat polisi mulai mencokoknya, mereka akan menangis meminta ampun.

“Sekarang, pikirkan korbannya juga, keluarga korban, mereka berhak punya masa depan,” tutupnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved