Berita DI Yogyakarta Hari Ini

Apapun Nama Klithih, Kenakalan Remaja di Jalanan tetap Disebut Sebagai Kejahatan

Aparat dan pemerintah daerah (pemda) cenderung memilih langkah yang tidak relevan dengan akar masalah, termasuk proses penanganan klitih yang lambat.

Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Suluh
Ilustrasi Klitih 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Baru-baru ini, Kepolisian Daerah (Polda) DI Yogyakarta meminta masyarakat untuk tak lagi memakai istilah klitih untuk setiap aksi kejahatan jalanan.

"Kata klitih ini mohon tidak kita gunakan lagi, karena ini sudah salah kaprah," kata Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi, Rabu (6/4/2022)

Ade menjelaskan, klitih merupakan bahasa atau istilah lokal yang sedianya memiliki definisi jalan-jalan sore atau sekadar mencari angin sambil mengobrol.

Namun, saat ini istilah klitih mengalami pergeseran makna yang mengarah ke aksi kejahatan jalanan.

Baca juga: Ini Tanggapan Pakar Hukum UGM dan JPW Soal Penghapusan Kata Klitih

"(Klitih) itu budaya yang baik, tapi kalau kita gunakan kejahatan jalanan tawuran ini itu berkonotasi negatif. Bahkan kita sering mendengar orang bercanda, itu ada orang diamankan membawa sajam itu kelompok preman, awas ada klitih. Kita sendiri yang membuat suasana menjadi tidak lebih baik," imbuh Ade.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Kriminologi Universitas Islam Indonesia (UII), Dr Aroma Elmina Martha SH MH mengatakan itu semua berkaitan dengan stigma.

Ia sendiri tidak tahu mengapa Polda DIY ingin mengganti kata klitih tersebut. Dia menduga, penggantian tersebut dilakukan agar klitih tidak memiliki makna negatif.

Seperti diketahui, klitih sendiri sebenarnya merupakan bahasa Jawa yang memiliki konotasi yang mengarah pada kegiatan jalan-jalan sore, mencari suasana dengan mengobrol.

“Monggo saja kalau mau diganti, mau dihapuskan, tapi harus dijelaskan. Polisi harus memberikan penjelasan bahwa klitih yang saat ini sedang diperbincangkan itu bukan kenakalan remaja, itu sudah kejahatan karena menyerang orang hingga menyebabkan kematian,” jelasnya kepada Tribun Jogja, Jumat (8/4/2022).

Jika klitih adalah kejahatan, maka setiap pelakunya bakal terkena ancaman pidana yang membuat mereka betul-betul sulit untuk mencari penghidupan.

Menurutnya, titik permasalahan bukan pada istilah, melainkan ada regulasi yang mengakibatkan klitih ini tidak segera tertangani dengan baik.

Satu di antaranya adalah Undang-Undang (UU) Perlindungan Anak yang memiliki sistem restorative justice, membuat pelaku klithih cenderung lepas dari pidana karena berusia di bawah 17 tahun.

Baca juga: Bahas Pergeseran Makna Klitih Dinilai Buang-buang Energi, Jogja Police Watch: Fokus ke Penanganan

“Waktu luang anak-anak pelaku klitih itu terlampau banyak. Ini sebenarnya penggunaan waktu juga. Apalagi kalau keterikatan dengan keluarga lemah, di sekolah kurang berprestasi, lingkungan yang toxic, itu mendorong mereka melakukan kreasi negatif,” terang Aroma.

Senada, Pengamat Sosial Elanto Wijoyono membenarkan ada pergeseran makna klitih di beberapa kelompok, termasuk media.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved