Berita Kriminal Hari Ini
Kekerasan antar Pelajar Terjadi di Gedongkuning, Ini Analisis Pakar Sosiologi UWM
Dalam kasus kekerasan di Gedongkuning , kelompok pelaku kekerasan dan rombongan korban memandang masing-masing grup sebagai musuh.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kasus kekerasan antar pelajar yang terjadi di Gedongkuning , Minggu (3/4/2022) dan menewaskan satu siswa SMA menjadi bukti bahwa banyak generasi Z yang menilai kekerasan adalah cara untuk menorehkan eksistensi.
Dr Mukhijab MA, Dosen Program Studi (Prodi) Sosiologi Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM) menjelaskan, dalam kasus kekerasan di Gedongkuning , kelompok pelaku kekerasan dan rombongan korban memandang masing-masing grup sebagai musuh.
“Mereka atau rombongan korban menganggap kelompok lain itu musuh dan mengganggu eksistensi mereka. Ketika satu kelompok menunjukkan bahasa tubuh dengan menggeber suara knalpot di depan mereka, maka mereka murka mengapa lawan bisa seenaknya menunjukkan kekuasaannya dengan cara seperti itu,” katanya kepada Tribunjogja.com , Selasa (5/4/2022).
Baca juga: Kekerasan Jalanan Merebak Lagi, Wawali Kota Yogya Minta Masyarakat Lakukan Pengetatan Wilayah
Dia melanjutkan, rombongan korban pun tertantang untuk menunjukkan eksistensinya dengan mengejar lawan mereka.
Tidak heran, rombongan korban yang ternyata berjumlah delapan orang dengan lima motor itu segera mengejar kelompok pelaku.
Aksi berbalas tindakan oleh kelompok pelaku dan korban itu dilakukan untuk menunjukkan eksistensi keberadaan mereka.
“Kelompok pelaku maupun korban memiliki identitas sebagai sesama generasi kekinian, yang memiliki pengetahuan dan gambaran yang diperoleh dari sekolah maupun media sosial tentang kekerasan sebagai tribalisme kaum feodal,” paparnya.
Mukhijab menilai, korban dan pelaku bangga dengan identitas kekerasan karena tindak kekerasan itu bisa dijadikan jejak bahwa mereka eksis dan berkuasa.
“Situasi kekerasan yang terjadi berulang dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun, menunjukkan terjadi krisis kendali perilaku para remaja di bawah umur,” paparnya.
Baca juga: Polres Bantul Tangkap Remaja yang Terlibat Tawuran di Pandak
Orang tua, guru, publik figur, pemuka agama yang menggelorakan anti kekerasan, tidak mereka segani dan dianut ajarannya.
“Mereka bisa saja menilai teori-teori moral dan agama itu membosankan dan hanya diperlukan saat tertentu ketika sedih dan kehilangan orang tercinta saja,” terangnya.
Lebih lanjut, kata Mukhijab, baik rombongan pelaku dan korban tahu jika kekerasan dilarang agama maupun aturan sosial dan hukum, tetapi kekerasan malah jadi identitas mereka.
Menurutnya, solusi pencegahan kekerasan antar pelajar perlu dipikirkan dan dilakukan bersama.
“Kekerasan pelajar ini masalah bersama. Sehingga, perlu dipikirkan bersama,” katanya.
Satu di antara regulasi yang bisa diadopsi adalah adanya jam malam bagi remaja untuk tidak keluar rumah pada periode tertentu.
Itu dinilai bisa sedikit membantu menekan aksi kekerasan antar pelajar.
“Sepintas kebijakan ini kontraproduktif bagi kegiatan pariwisata, dan bisnis kuliner malam hari, tapi itu bisa diberlakukan secara temporal dan area lokal pada setiap RW,” jawabnya.
Baca juga: Penjelasan Kapolres Kulonprogo Soal Tawuran Perang Sarung yang Melibatkan Pelajar
RW yang patut menjadi perhatian adalah wilayah yang berpotensi terdapat kasus kekerasan .
Kebijakan ini, katanya, bisa dikelola oleh simbol keamanan negara pada level kecamatan atau kemantren, polisi sektor, yamg bekerjasama dengan pengurus RW hingga RT.
“Orangtua juga bisa memperlakukan jam malam bagi anak-anaknya. Batas waktu anak-anak mereka keluar rumah maksimal pukul 21.00, misalnya,” paparnya.
Pada level sekolah, dilanjutkannya, gerakan modal bisa dilakukan dengan tugas membaca buku-buku anti kekerasan dan mendiskusikan secara terbuka di dalam kelas atau dalam forum antikekerasan.
“Sekolah juga perlu membentuk satgas antikekerasan untuk mencegah bibit kekerasan ini berkembang lebih besar dan menjadi malapetaka,” tukasnya. ( Tribunjogja.com )