Berita Pendidikan Hari Ini
Pakar Kebijakan UGM : Kebijakan Pengambilan JHT Harus Berbasis Bukti dan Data yang Kuat
Belum ada keputusan baru terkait peraturan Jaminan Hari Tua ( JHT ) Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Sempat bergulir di akhir Februari 2022, belum ada keputusan baru terkait peraturan Jaminan Hari Tua ( JHT ) Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Diketahui, kini, sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022, JHT hanya bisa diambil ketika pekerja memasuki usia 56 tahun.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada ( UGM ), Dr Agus Heruanto Hadna, menilai kebijakan itu tidak berbasis bukti dan data yang kuat.
Situasi ini, katanya menyebabkan kebijakan yang diambil menyisakan sejumlah persoalan dan menuai gelombang kritik karena proses penyusunannya tidak berdasarkan pada evidence based.
Baca juga: Pencairan JHT Tak Perlu Menunggu Pensiun, Begini Penjelasan Menaker
"Kebijakan ini tidak evidence based dan dibuat tidak sensitif terhadap publik khususnya pekerja di sektor swasta," tuturnya, Selasa (2/3/2022).
Dia menjelaskan, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tersebut dibuat seolah menyamakan usia pensiun pekerja non-PNS dan PNS.
Padahal, persoalan yang dihadapi dari para pekerja di sektor swasta berbeda dengan PNS ditambah dengan situasi lapangan kerja saat ini sangat labil dan penuh ketidakpastian.
Menurutnya, tidak sedikit pekerja di sektor swasta yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum masa pensiun dalam usia yang beragam.
Sehingga, dari sudut pandangnya, kebijakan pemanfaatan JHT belum mampu menjawab permasalahan tersebut.
Hadna mencontohkan pada pekerja terkena PHK pada usia 45 tahun. Pekerja tersebut harus menunggu selama 11 tahun untuk bisa mencairkan JHT.
"Kondisi pekerja sektor swasta dimanapun itu tidak pasti sehingga penentuan batas usia ini sangat sulit bagi mereka. Seringnya kebijakan publik dibuat berdasar insting atau analogi kasus lain. Takutnya ini dianalogikan dengan PNS dan ini berbahaya kalau tanpa analisis mendalam," urainya.
Hadna mengungkap dalam kebijakan publik merupakan suatu hal lumrah apabila terdapat perubahan kebijakan.
Kendati begitu, perubahan kebijakan menjadi sesuatu hal yang aneh ketika baru diterapkan lalu diganti lagi dalam waktu dekat.
Baca juga: Revisi Permenaker 2 Tahun 2022 Soal JHT Masih Diproses, Menaker Pastikan Mengacu Aturan Lama
"Jadi, aneh ketika baru diterapkan seminggu lalu diganti," katanya.