Kehilangan Pekerjaan, Pendorong Gerobak PKL Malioboro Tuntut Pertanggungjawaban Pemda DIY
Akibat adanya proyek relokasi, mata pencaharian mereka terancam hilang karena PKL tak lagi membutuhkan jasa antar-jemput gerobak di tempat baru.
Penulis: Yuwantoro Winduajie | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Puluhan pendorong gerobak yang menggantungkan hidupnya dari pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Malioboro menggelar aksi demonstrasi di Kantor Gubernur DIY atau Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (31/1/2022).
Akibat adanya proyek relokasi, mata pencaharian mereka terancam hilang karena PKL tak lagi membutuhkan jasa antar-jemput gerobak di tempat berjualan yang baru.
Ketua Paguyuban Pendorong Gerobak Malioboro Kuat Suparjono menuturkan, sedikitnya ada 53 pendorong gerobak yang telah menganggur. Mereka pun menuntut pertanggung jawaban dari Pemerintah Daerah (Pemda) DIY sebagai pemangku kebijakan.
"Saya hadir di sini menghadap bapak gubernur untuk minta kejelasan karena selama ini teman-teman ada yang menjadi pendorong gerobak selama 20 tahun dihidupi dari PKL," jelas Kuat saat ditemui di sela-sela aksi, Senin (31/1/2022).
Para pendorong gerobak dikatakan belum siap menerima dampak dari relokasi tersebut. Pasalnya, mereka membutuhkan waktu untuk mencari pekerjaan lain. Selain itu, rencana pemerintah untuk merelokasi pedagang juga tergolong mendadak.
"Oleh karena itu agenda hari ini kita memohon kepada bapak gubernur untuk menunda relokasi ini agar kita punya kesempatan untuk mencari pekerjaan yang lain," jelasnya.
Kuat mengisahkan, tiap harinya dia bersama rekan seprofesi menyiapkan gerobak dari gudang penyimpanan dan mengantar ke lapak sejak pagi dan mengambilnya kembali saat malam hari.
Baca juga: Mayoritas PKL Malioboro Sudah Mendapat Nomor Lapak
Baca juga: Teras Malioboro, Lokasi Baru PKL Malioboro yang Telah Diresmikan Sri Sultan HB X
Tiap orang rata-rata bisa mengantar antara 7 hingga 15 gerobak. Setiap melakukan antar jemput, mereka diupahi sekitar Rp 10 ribu.
Adapun jarak tempuh para pendorong gerobak yakni dari kawasan Hotel Grand Inna Malioboro sampai titik Ngejaman.
Jarak terjauh antara lapak PKL dan gudang penyimpanan di Taman Yuwono, Sosromenduran sekitar 700 meter.
Kendati demikian, jarak tersebut hanya berlaku untuk tipe gerobak 2 in 1 yang memungkinkan dipakai sekaligus untuk berjualan.
Sedangkan gerobak tipe 3 in 1 dikatakan kurang fleksibel dan membutuhkan proses bongkar muat barang karena tak bisa difungsikan sebagai etalase dagang.
"Berhubung kita perlu menyambung hidup mau nggak mau hujan panas dilalui. Kadang kita ngawur dari segi makan sehabis jam 1 (malam) itu makan ngawur istirahat ngawur," terangnya.
Paguyuban pun menunut adanya kejelasan terkait nasib mereka nantinya.
Pemda seharusnya juga mempikirkan dampak kebijakan relokasi kepada seluruh warga terdampak termasuk para pendorong gerobak.
"Teman-teman masih nganggur. Diberi pekerjaan boleh, diberi lapak untuk pekerjaan akan datang boleh. Yang jelas kita kepastian nasib kita nggak nggantung," jelasnya. (Tribunjogja)