Ekspedisi Gunung Tambora 1951
EKSPEDISI TAMBORA 1951 : Turunnya Tugas Menuju Kaldera Gunung Tambora
Dinas Gunung Berapi waktu itu dipimpin orang Belanda, Drs GA de Neve. Diperintahkan agar 4 pegawai DGB berangkat tugas ke Tambora pada 17 Maret 1951
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Empat pegawai Dinas Gunung Berapi Djawatan Pertambangan Republik Indonesia, menjadi orang-orang pertama pribumi yang menginjakkan kaki di kaldera Gunung Tambora. Adnawijaya, Chatib, Rukman dan Hamim pionir di Tambora sejak gunung itu meledak dahsyat pada 11 April 1815. Inilah kisah ekspedisi mereka yang sulit, yang berlangsung antara April hingga Juni 1951.
Tim Tambora Batal Berangkat ke Sumbawa Karena Ketinggalan Kapal Laut
LETUSAN paroksimal Gunung Api Tambora di Pulau Sumbawa sudah dikenal luas. Kisahnya mendunia lewat laporan para geolog, vulkanolog, antropolog dan ahli sejarah barat.
Letusan Tambora dianggap paling spektakuler di muka bumi, sesudah letusan katastrofik masa prasejarah Gunung Api Toba di Sumatera Utara.
Sebanyak 150 kilometer persegi material dimuntahkan dari Tambora. Hampir sebagian besar puncaknya lenyap, menyisakan kaldera maha luas yang tampak hingga hari ini.
Pengetahuan tentang peristiwa itu selama berpuluh-puluh tahun sejak terjadinya letusan spektakuler 11 April 1815, banyak disandarkan pada laporan dan tulisan orang-orang Eropa.
Kenyataan itu menantang Djawatan Pertambangan Republik Indonesia, negeri yang umurnya masih sangat belia. Mereka membentuk tim terdiri pegawai lokal, dan diberi tugas khusus.
Dinas Gunung Berapi (DGB) waktu itu dipimpin seorang Belanda, Drs GA de Neve. Diperintahkan agar empat pegawai DGB berangkat bertugas ke Tambora pada 17 Maret 1951.
Perjalanan dimulai dari kantor DGB di Bandung menuju pelabuhan Tanjungpriok di Jakarta. Kapal laut De Eerens diperkirakan berangkat tanggal itu dan tiba di Sumbawa 22 Maret.

Chatib dan Hamim berangkat lebih dulu 13 Maret menggunakan kendaraan via Cianjur-Bogor-Jakarta. Sementara Adnawijaya dan Rukman menyusul 16 Maret naik kereta api.
Sarana komunikasi jarak jauh masih langka. Adnawijaya dan Rukman tidak tahu apa yang terjadi di Jakarta hingga mereka meninggalkan Bandung.
Tiba di penginapan Sukahati di Jakarta 16 Maret malam, tiba-tiba mereka diberi kabar kapal De Eerens sudah berlayar pada 13 Maret, atau tiga hari sebelumnya.
Chatib dan Hamim bahkan sudah kembali ke Bandung menggunakan mobilnya tanpa berkabar karena sulitnya telekomunikasi.
Misi pun batal, dan Adnawijaya serta Rukman balik menyusul pulang ke Bandung hari berikutnya. Kepala DGB Drs GA De Neve saat itu berada di Sulawesi Utara memeriksa Gunung Lokon.

Begitu masuk ke kantor 19 Maret, ia tercengang, tim ekspedisi Tambora ternyata gagal berangkat. Padahal segala sesuatu sudah disiapkan matang, termasuk komunikasi ke pemerintah di Bima dan Sumbawa.