Ekspedisi Gunung Tambora 1951
EKSPEDISI TAMBORA 1951 : Dicegat Pacet Penghisap Darah Tak Terhitung Banyaknya
Ini merupakan pengalaman nyata tim ekspedisi yang ditugaskan untuk meneliti kaldera Gunung Tambora pada tahun 1951
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Ekspedisi pendakian Gunung Tambora oleh empat pegawai Dinas Gunung Berapi Djawatan Pertambangan Republik Indonesia dimulai 23 April 1951. Adnawijaya, Chatib, Rukman dan Hamim akan tercatat dalam sejarah sebagai orang-orang pertama Indonesia yang menjejakkan kakinya di kaldera gunung api yang meledak dahsyat 11 April 1815.
TIM EKSPEDISI TAMBORA memilih jalur Tambora Estate untuk mendaki ke puncaknya. Rombongan pertama berangkat pukul 08.00. Mereka terdiri para perintis jalan dan yang memahami jalur ke puncak yang tertutup rapat.
Baca berita sebelumnya: EKSPEDISI TAMBORA 1951 : Turunnya Tugas Menuju Kaldera Gunung Tambora
Barulah pukul 11.00, tim survey dan pembawa logistik menyusul naik berjalan kaki. Sejam kemudian mereka bertemu rombongan pertama yang masih bekerja keras membuka jalur, menebangi dahan-dahan pohon dan semak belukar.
Sekira pukul 16.00, barulah rombongan besar mencapai dataran cukup luas. Di lokasi inilah mereka mendirikan bivak, semacam tenda besar untuk berteduh. Mereka bermalam di lokasi berketinggian 850 meter di atas permukaan laut.

Tekanan udara terukur 684,5 mm, suhu berkisar 22 derajat Celcius. Dari perkebunan kopi Tambora menuju titik kamp pertama ini, vegetasi rapat terdiri pohon-pohon besar. Tanaman pakis melimpah yang pucuknya bisa dipetik untuk disayur.
Menurut kesaksian Adnawijaya, rapatnya jalur membuat perjalanan kerap tersendat, lamban, walau para perintis jalan bekerja keras tanpa henti. Mereka disebutnya sangat bersemangat, gigih dan memiliki tenaga sangat kuat khas penduduk desa.
“Patjet (lintah hutan) terhitung banjak,” tulis Adnawijaya dalam catatan harian perjalanan.
Praktis hari pertama menguras waktu 7 jam perjalanan, dikurangi satu jam waktu istirahat sebelum sampai di kamp pertama.
Malam itu, rombongan beristirahat di bivak-bivak sederhana yang dibangun. Pekerja bagian juru masak menyiapkan makan malam, lalu semua beristirahat. Paginya setelah bongkar bivak, pendakian dilanjutkan menerobos hutan yang semakin rapat.

“Makin ke atas makin tebal tumbuh-tumbuhan perintang djalan. Terutama harus liwat hutan rotan, jang njata sukar ditempuhnya, terpaksa ambil djalan sedikit membelok ke kiri atau ke kanan,” lanjut Adnawijaya.
Ia membuat catatan, rombongan melihat jejak-jejak ekspedisi terdahulu di sejumlah pepohonan besar. Bekas sabetan parang masih bisa dilihat. Mereka melewati rute yang pernah dilalui vulkanolog WA Petroeschvsky yang memuncaki Tambora pada 1947.
Perlahan rombongan melintas rute berat terdiri empat jurang yang dalamnya antara 20-25 meter. Mereka akhirnya tiba di dataran yan dikelilingi rumpun dan sulur-sulur tanaman rotan. Di situlah rombvongan berhenti mendirikan bivak.
Selama 8 jam mereka telah mendaki menerobos hutan, dan hanya istirahat 1,5 jam. Bivak didirikan di dataran berketinggian 1.160 meter di atas permukaan laut. Tekanan udara terukur 659 mm, suhu berkisar 17 derajat Celcius.
Pagi hari berikutnya, pendakian berlanjut mulai pukul 08.00. Seperti rute sebelumnya, jalur yang dihadapi sangat berat. Hutan rapat, dan nyaris ulit melihat langit terang. Jalur yang mereka lalui ada di bawah rerimbunan tanaman.

Sekira pukul 12.00, rombongan berhenti di sebuah pematang rata untuk istirahat makan minum. Setelah istirahat 1,5 jam, perjalanan berlanjut menyisir jurang, menapaki punggungan lereng, dan perlahan vegetasi semakin terbuka.
Tanaman rotan semakin sedikit, pohon besar semakin jarang, dan pacet juga menghilang. Jelang sore mereka tiba di pematang yang ditumbuhi alang-alang, langit mulai terlihat. Puncak utara Tambora terlihat dari lokasi ini.
Tapi hanya sebentar karena kabut kemudian menutup rapat puncak gunung. Hawa mulai menusuk kulit, dan menurut sejumlah pekerja, di lokasi itu yang ada tiga pohon cemara besar, WA Petroeschvsky mendirikan bivak ketiga.
Namun karena baru sekira pukul 15.00, mereka tidak mendirikan bivak di lokasi ini. Tim bergerak naik terus di sisa waktu sebelum hari gelap, supaya memperoleh tempat bivak yang bagus dan posisi semakin dekat ke puncak.

Sayang, hujan turun setelah rombongan berjalan sekira 45 menit. Terpaksa mencari pematang datar dan mendirikan bivak untuk bermalam. Titik itu ada di ketinggian 1.520 meter di atas permukaan laut. Tekanan udara 630 mm, suhu udara berkisar 16 derajat Celcius.
Hari itu, mereka berjalan kaki mendaki sekira 7,5 jam dikurangi 1,5 jam istirahat siang. Semua anggota rombongan masih bersemangat, dan berharap keesokan harinya mencapai titik bivak terakhir sebelum puncak.
Hari berganti, 26 April 1951 menjadi hari penting bagi ekspedisi Tambora. Dari bivak III, rombongan berangkat mulai pukul 07.00. Jalurnya penuh tanaman alang-alang dan glagah, dan satu jenis tanaman “penyiksa” yang disebut “meladi”.
Meladi ini memiliki daun yang jika tersentuh kulit akan menimbulkan efek pedih, gatal, sangat sakit. Daun tanaman ini berbulu tajam dan bisa menembus kain baju, kaus, atau celana tipis jika menyenggol daun ini.
Tanaman meladi ada dua jenis. Satu yang daunnya lebar dan satu lagi berdaun kecil. Meladi daun lebar sangat kuat racunnya. Bagi para perintis jalan warga setempat, tanaman ini sudah mereka kenal baik. Jadi mereka hapal apa yang harus dilakukan jika menemui rumpun tanaman ini.
Setelah merasa melewati rute berat yang memiliki ranjau tanaman meladi, mereka tiba di tegalan meladi yang sangat subur. Tanaman lain tidak ada. Jadi sepanjang mata memandang, kiri kanan, semak belukar meladi menghadang rombongan.
Semua berhenti, termasuk para perintis jalan. Seolah mereka kehilangan akal, seperti tak sanggup lagi menembusnya. Ujian bertubi-tubi, dari hadangan lintah yang brkerumun seperti semut, hutan rotan berduri, dan kini menemui tembok meladi.
Adnawijaya melaporkan, sungguh pertahanan Tambora memang amat sangat kuatnya. “Tegal meladi jang termasjhur djahatnya, melumpuhkan petundjuk dan perintis sehingga bertekuk lutut,” tulis Adnawijaya.
Mendadak kabut datang dan turun hujan lebat. Sebagian lantas mengenakan baju karet, dan tiba-tiba terlintaslah ide cemerlang. Chatib dan Rukman maju membuka jalan, menggempur tegal meladi yang rapat dan terbukalah jalan berikutnya.
Tembok meladi dihajar dan jalur terbuka lebar untuk rombongan berikutnya. Daun meladi berduri tajam bisa dielakkan. Sejam berikutnya setelah mendaki, mereka sampai di pematang yang banyak pohon cemara, alang-alang, tengsek, dan glagah.
Kini, jalur pasir dan batu lava mulai mereka temukan, dan terasa benar rombongan telah sampai di dekat puncak gunung berapi. Lokasi itu ada di sebuah jurang yang dasarnya batuan lava beku (lava bank). Jarum jam menunjuk angka 17.30.
Lama perjalanan hari itu 8 jam, dikurangi 2,5 jam istirahat. Berdasar keterangan pekerja, di lokasi ini WA Petroeschvsky mendirikan bivak untuk para pekerjanya. Vulkanolog itu mendirikan bivak terpisah di lokasi lebih tinggi.
Bivak didirikan di ketinggian 1.940 meter di atas permukaan laut, tekanan udara 598 mm, suhu udara berkisar 11 derajat Celcius. Di dekat bivak ada dua jalur air terjun, namun saat itu kering kerontang. Sumber air terbatas di lokasi ini.
Keesokan harinya, mulai pukul 09.00, Adnawijaya dan rekan didampingi sejumlah pekerja, melanjutkan perjalanan mendaki ke puncak Tambora. Ini momen “summit attack”, yang relatif tidak berat. Jalurnya terbuka.
Setelah 55 menit berjalan, mereka tiba di titik yang jadi batas terakhir hutan dan puncak yang dipenuhi pasir dan batu lava. Dari batas ini, sekira 50 menit pendakian mereka menemukan titik yang 4 tahun sebelumnya dijadikan bivak WA Petroeschvsky.
Spot itu dinaungi rerimbunan tiga pohon cemara , satu pohon di antaranya sudah mati. Perjalanan berlanjut dan tak lama kemudian Adnawijaya dan kawan-kawan tiba di spot akhir yang dituju hari itu: tepi barat kaldera Tambora.(Tribunjogja.com/xna)
BERSAMBUNG ...