Dinas Sosial DIY Akui Pendataan Transpuan Minim, Sulit Berikan Bantuan di Masa Pandemi
Dinas Sosial (Dinsos) DI Yogyakarta merasa kesulitan untuk mendapatkan data berapa banyak transpuan yang ada di Yogyakarta.
Penulis: Ardhike Indah | Editor: Kurniatul Hidayah
Laporan Reporter Tribun Jogja, Ardhike Indah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dinas Sosial (Dinsos) DI Yogyakarta merasa kesulitan untuk mendapatkan data berapa banyak transpuan yang ada di Yogyakarta.
Pendataan yang minim berdampak pada pemberian bantuan kepada transpuan yang membutuhkan.
“Jujur, kami kesulitan untuk mendata. Mereka (transpuan) tidak mau didata,” kata Kepala Dinsos DIY, Endang Patmintarsih kepada tim liputan kolaborasi yang terdiri dari Tribun Jogja, Tirto dan Lensa44, beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, tim liputan kolaborasi menemukan fakta bahwa banyak transpuan di DIY yang harus hidup dari uluran masyarakat dermawan di masa pandemi Covid-19.
Mereka tidak bisa mendapatkan akses bantuan dari pemerintah. Padahal, mereka tidak dapat mencari duit dengan mengamen selama 2,5 bulan lantaran adanya pembatasan kegiatan masyarakat.
Alhasil, para transpuan ini harus menunggu bantuan dari orang atau instansi yang peduli, seperti Dana Kemanusiaan Kompas yang beberapa waktu lalu memberikan paket sembako kepada waria di DIY.
Dikatakan Endang, Dinsos DIY tidak bisa sewenang-wenang memberikan bantuan kepada transpuan karena terganjal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan begitu, kewenangan untuk memberi bantuan kepada transpuan di DIY sebenarnya berada di Dinsos kota dan kabupaten setempat.
“Dinsos DIY ini cuma bisa memberikan kebutuhan dasar saja karena kewenangannya di kota dan kabupaten. Kami sendiri sudah membantu 10 orang yang tergabung dalam Lembaga Kesejahteraan (LKS) Kebaya,” tuturnya lagi.
Menurutnya, transpuan yang mau mendapatkan bantuan pemerintah bisa mengajukan ke Dinsos DIY melalui LKS yang sudah terdaftar di Dinsos, seperti Kebaya.
Baca juga: Kalangan Pesantren di Yogyakarta Minta Muktamar NU Dimajukan
Sebab, pihaknya baru bisa menurunkan bantuan setelah administrasi dari LKS lengkap untuk menghindari adanya temuan janggal jika ada audit nanti.
“Kalau tidak masuk data atau pengusulan, ya kami tidak bisa apa-apa,” paparnya.
Endang memaparkan, pihaknya sudah siap membantu dengan syarat administrasi lengkap, termasuk Kartu Tanda Penduduk (KTP) para transpuan.
Saat melakukan reportase, tim juga menemukan data bahwa ada 11 orang transpuan di DIY yang meninggal dunia lantaran tidak bisa mengakses makanan dan minuman di masa awal pembatasan kegiatan.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Rully Malay (61) yang merupakan pengurus LKS Kebaya.
Rully menjelaskan, setidaknya ada 11 kawan transpuan yang meninggal dunia di masa pandemi, meski bukan karena Covid-19.
Mereka meninggal karena tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar hidup, seperti makanan lantaran status ekonomi yang rentan. Ada juga sebagian yang memiliki penyakit komorbid, diperparah dengan kekurangan nutrisi.
“Pascapenerapan PSBB oleh pemerintah itu, ada transpuan yang bertahan di sini, ada yang pulang ke kampung. Mereka banyak yang tidak punya tabungan di hari tua,” kata Rully ditemui beberapa waktu lalu.
Dia mengibaratkan, teman transpuan akan mencari uang hari ini untuk makan hari ini juga. Caranya, dengan menjadi pengamen ataupun pekerja seks komersial (PSK).
“Maka dari itu, respons kami adalah mendirikan dapur umum di akhir tahun 2020. Darurat sekali pada waktu itu. Mereka tidak bisa bekerja, tak punya uang, tak punya beras. Kami pun bikin dapur umum agar mereka bisa hidup,” bebernya.
Dapur umum didirikan juga berasal dari uluran tangan masyarakat yang memiliki niat untuk membantu.
Keadaan semakin rumit tatkala kasus Covid-19 semakin menanjak di bulan Maret-Mei 2021. Rully pun sempat mengunggah permintaan bantuan di media sosial agar ada lebih banyak orang yang peduli
“Secara resmi, di bulan Juni 2021, ada lembaga donor yang menerima proposal kami. Kami pun segera membuat dapur umum di 9 titik di DIY. Dari kegiatan itu, menumbuhkan semangat setia kawan-kawan dalam situasi sulit,” tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, Endang tidak tahu ada 11 transpuan yang meninggal.
Data yang ia dapat, hanya ada 1 orang tiada karena komplikasi penyakit HIV/AIDS, bukan karena Covid-19.
Ia kemudian menekankan bahwa bantuan dari Dinsos harus sesuai dengan data yang diberikan oleh LKS yang menaungi transpuan tersebut.
“LKSnya pun harus jelas. Sudah terdaftar di Dinsos, ada AD ARTnya, ada pelayanan yang sesuai dengan regulasi. Saat ini, hanya ada Kebaya yang aktif berhubungan dengan kami,” tambahnya.
Tidak Punya KTP
Endang menyebutkan, administrasi lengkap adalah kunci penting untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah.
Pengurus LKS Kebaya, Jenny Mikha mengatakan, rekan transpuan memang ada yang belum memiliki identitas kependudukan. Ini juga mempersulit mereka untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19.
“Beruntung, ada Yakkum yang mau memfasilitasi pertemuan kami dengan Sekretaris Daerah (Sekda) DIY terkait masalah KTP ini. Melalui Sekda, kami didisposisikan ke biro pemerintahan, termasuk Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) se-DIY,” terangnya kepada tim peliputan.
Jenny menyebut, mengurus KTP rekan transpuan tidak bisa dibilang sulit, tapi juga tidak mudah.
Sebab, terkadang, masih ada stigma-stigma yang melingkupi pemikiran manusia terkait gender yang dipilih oleh transpuan ini.
Padahal, bagi Jenny dan kawan-kawan, dia tidak mempermasalahkan gendernya sebagai laki-laki dan membutuhkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
“Kalau kami gendernya memang masih laki-laki, secara biologis. Kalau sudah operasi, baru berganti nama jadi transgender donk,” papar Jenny lagi.
Kesulitan lain, kendala administrasi masih ia temui di jenjang padukuhan. Seorang dukuh mengatakan dirinya enggan menandatangani dokumen pengajuan KTP untuk salah satu transpuan lantaran takut ada data ganda.
“Ada yang begitu juga. Akhirnya, kami kembali ke Disdukcapil Sleman dan mereka berjanji untuk berkomunikasi dengan Pak Dukuh itu,” ungkapnya.
Demi menjaga privasi, Jenny enggan menyebutkan siapa dukuh yang ia maksud.
Hingga kini, dari 17 orang yang diajukan untuk mendapatkan KTP, sudah ada dua dari Sleman, dua dari Kota Yogyakarta yang sudah terlacak.
“12 lainnya masih diurusi secara administrasi ya. Transpuan 1 lagi sudah meninggal. Jadi pas ada 17 yang kami ajukan (membuat KTP),” tandasnya.
Stigma
Berbicara soal stigma, Gama Triono, Direktur Eksekutif Daerah PKBI DIY menjelaskan, stigma itu ada di masyarakat dan memberikan dampak buruk kepada transpuan.
Mereka dicap sebagai orang yang tidak memenuhi normal sosial.
“Melihat adanya waria yang meninggal di masa pandemi karena kesulitan akses kebutuhan dasar, artinya kan masyarakat ini kurang peduli dengan hal seperti ini. Mau peduli, tapi ada stigma itu di sana,” ungkap Gama ketika ditemui di rumahnya.
Baca juga: PS Satria Adikarta Bidik Target Lolos 8 Besar Liga 3 DIY
Gama menilai, di masa seperti ini, nilai kemanusiaan seorang manusia sedang teruji. Apakah mereka ingin menganggap waria sama sebagai manusia lain atau berbeda?
Dengan begitu, pandemi Covid-19 ini menyebabkan problem berlapis-lapis untuk transpuan.
Ditanya mengenai peran pemerintah, Gama mengatakan, pemerintah saat ini mengedepankan ruang primordialisme dengan mendahulukan pemilik KTP asal.
“Seolah-olah warga negara yang diakui pemerintah daerah hanya mereka yang memiliki KTP Yogyakarta. Padahal, kita sadar betul, siapa yang tinggal di DIY tidak semuanya memiliki KTP Yogyakarta. Ini menimbulkan diskusi ‘apa makna warga itu?’,” papar Gama.
Selama masa pandemi, Gama juga melihat, negara belum hadir hingga tingkat kampung lantaran banyak warga yang merawat satu sama lain sendiri.
Dari pengalaman itu, memunculkan pelajaran bahwa pelayanan harus dilakukan dari kampung ke kampung. (Ard)