Emping Telo Bantul Karang, Camilan Tradisional yang Eksis 50 Tahun dan Bertahan di Masa Pandemi
Nenek berusia 88 tahun bisa disebut sebagai pionir yang memulai pembuatan emping telo di kampung tersebut.
Penulis: Santo Ari | Editor: Muhammad Fatoni
Karena tenaganya sudah tidak sekuat dulu, kini ia hanya membantu membuat bumbu-bumbu.
"Sekarang saya masih membuat bumbu-bumbu. Tapi pembuatan usaha emping telo sudah diteruskan anak dan cucu saya," imbuhnya.
Sutinah (65) anak dari Mbah Harjo mengatakan, saat ini pembuat emping di Bantul Karang sudah mencapai 40 orang.
Sementara ia dan anaknya, Prihanta (42), mampu menghabiskan ketela 375 kilogram dalam sehari.
Sementara para pelaku usaha emping telo lainnya minimal mampu menghasilkan 25kg per hari.
Usahanya terbilang paling besar di kampung tersebut, dan mampu mempekerjakan 15 orang karyawan yang juga berasal dari tetangga sekitar.
"Sekarang sudah bisa berkembang, sehari bisa menghasilkan 1,25 kuintal, kalau anak saya bisa 2,5 kwintal sehari," ungkapnya.
Ia mengatakan, ketela untuk membuat emping ini harus didatangkan dari daerah lain, yakni Wonosobo.
Menurutnya, ketela Wonosobo memiliki karakter yang paling cocok untuk membuat emping, yakni besar, empuk, gampang dikupas dan tidak pecah saat ditumbuk.
Sutinah sudah mencoba membuat emping dengan ketela dari Bantul, tetapi hasil olahannya menjadi terlalu lembek saat proses menumbuk.
Mereka membeli ketela seharga Rp 4 ribu per kg, di mana 4 kg bisa diolah menjadi 1 kg emping.
Diterangkannya, proses pembuatan emping yakni dengan cara mengukus ketela setelah dikupas dan dicuci.
Setelah matang, ketela akan digiling menjadi getuk dibumbui. Olahan itu kemudian ditumbuk menggunakan alat yang beratnya bisa mencapai 3 kg.
"Setelah itu baru dijemur. Kalu cuaca panas, cukup dijemur sehari saja. Tapi kalau mendung ya dijemur sampai 2 hari," ungkapnya.
Awalnya, bumbu yang digunakan untuk membuat emping hanya berasa asin dan gurih.