Kisah Inspiratif

Setelah Bangkrut Beternak Bebek, Warga Bantul Sukses Budidaya Maggot untuk Pakan Alternatif Ternak

Maggot dapat membantu peternak dalam mengantisipasi kegagalan dalam berusaha yang disebabkan oleh tidak pastinya harga pakan.

Penulis: Santo Ari | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM / Santo Ari
Saepul Bahri, menunjukkan maggot dari lalat BSF 

TRIBUNJOGJA.COM - Budidaya maggot atau larva lalat mulai dilirik sebagai alternatif pakan ternak.

Sistem ini dinilai lebih murah namun menghasilkan untung yang lumayan besar, baik dari sisi pembudidaya maggot ataupun dari peternak itu sendiri.

Satu di antara pembudidaya maggot adalah Saepul Bahri (27) warga asli Lombok yang tinggal di Panggungharjo, Sewon, Bantul.

Sedikit bercerita tentang dirinya, Saepul dulunya merupakan peternak bebek di Lombok, NTB.

Namun pada tahun 2019 ia harus mengalami kebangkrutan karena kendala tingginya pakan ternak.

Baca juga: Ubah Jelantah Jadi Berkah, LICIN Hadirkan Solusi Upaya Pengolahan Limbah Minyak Goreng Bekas Pakai

Ia pun pindah ke Yogyakarta untuk belajar dan memulai bekerja di bidang lingkungan dan persampahan.

Dan sejak tahun 2021 ini, dirinya mulai tertarik dan mengembangkan budidaya maggot untuk pakan ternak, terutama unggas.

"Saya melihat potensi maggot ini, di mana bisa membantu peternak dalam mengantisipasi kegagalan dalam berusaha yang disebabkan oleh tidak pastinya harga pakan," ungkapnya Kamis (23/9/2021).

Ia mengungkapkan, yang bisa disebut pakan alternatif apabila memiliki tiga unsur yakni mudah mendapatkannya, harga yang relatif murah, dan memiliki manfaat yang lebih banyak.

"Itulah kenapa maggot ini jadi alternatif yang luar biasa untuk mengatasi masalah di para peternak," ujarnya.

Adapun lalat yang dipakai dalam budidaya ini disebut lalat BSF (Black Soldier Fly).

Lalat ini bisa menghasilkan maggot yang kaya akan protein atau sekitar 40 persen yang tidak bisa didapatkan dari pakan pabrikan.

Ia mengungkapkan, maggot ini punya siklus hidup yang cukup singkat, maksimal 1 bulan.

Baca juga: Kisah Satya Swandaru, Pria Asal Bantul Buka Jasa Antar Jemput Pasien Covid-19 dengan Mobil Pribadi

Dari telur sampai menetas hanya membutuhkan 2-4 hari, dari menetas sampai dengan larva atau maggot itu membutuhkan 13-15 hari.

Di massa itu, maggot sudah bisa dijadikan pakan hidup.

Setelah hidup selama 15 hari maggot akan berubah menjadi prepupa, dan 7 hari kemudian berubah menjadi pupa atau kepompong dimana hanya membutuhkan sekitar 7 hari juga kepompong akan berubah menjadi lalat BSF.

Agar bisa membudidayakan maggot, maka ia memerlukan kandang lalat sebagai tempat untuk perkawinan lalat hingga menghasilkan telur.

Setelah itu, telur lalat BSF itu dipindahkan ke biopond.

"Dalam 1 gram telur lalat BSF, kita bisa menghasilkan 3-4 kg maggot. Dan dengan sistem yang sederhana bisa mendapatkan 1-2 kg maggot," ujarnya.

Dalam biopond tersebut, maggot diberi makan sampah-sampah organik, bisa dari sampah rumah tangga ataupun restoran, bahkan Saepul sendiri mencari sampah untuk makan maggot di pasar-pasar.

Baca juga: Bekerja dari Rumah, Warga Wonosari Gunungkidul Mampu Raup Untung Jutaan Rupiah

"Selain sampah organik, di biopond atau media pembesaran maggot, ita juga bisa menggunakan ampas tahu, buah-buahan, bekas olahan sawat, sisa olahan ikan atau ayam. Pokoknya yang bersifat organik semua bisa dimakan maggot tanpa melalui proses fermentasi atau apapun," terangnya.

Ia juga menerangkan, ada beberapa metode pengolahan maggot untuk pakan ternak.

Selain maggot hidup, ada pula pengolahan maggot kering dan tepung maggot.

Dan menurutnya, maggot kering memiliki nilai ekonomis lebih tinggi dari pada maggot hidup, karena memiliki protein yang lebih tinggi.

Maggot kering bisa digunakan untuk ternak tertentu seperti ikan-ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti koi dan arwana.  

"Maggot fresh bisa dijual seharga Rp 6-8 ribu per kg. Sedangkan maggot kering bisa dijual Rp 40-60 ribu per kg. Untuk puppa bisa Rp 60-80 ribu per kg bahkan ada yang jual Rp 100 ribu per kg," ujarnya.

Baca juga: Wayang dari Sampah Plastik Berbasis QR Code Inovasi Mahasiswa PKM-PM UGM

Dalam pengaplikasian pakan, peternak bisa memberikan sistem 50 persen pakan pabrikan dan 50 persen maggot.

Jika dalam 100 ekor ayam sampai bisa dipanen membutuhkan 4 sak pakan pabrikan maka dengan sistem 50:50 ini peternak hanya perlu membutuhkan 2 sak pakan pabrikan di mana 2 sak pakan itu berkisar di harga Rp 800 ribu.

"Ketika menggunakan sistem 50:50 maka kita bisa menghemat hampir Rp 800 ribu, itu kalau skala kecil, kalau skala besar akan lebih banyak lagi hematnya," ujarnya.

Selain itu, untuk ayam petelur, dengan memberikan pakan maggot, maka kualitas telur akan semakin baik dan persentase telur juga semakin tinggi.  

"Untuk selama ini pendistribusian saya masih mengandalkan teman-teman peternak di wilayah Panggungharjo," terangnya.

Saepul mengungkapkan, dengan metode ini beberapa masalah bisa teratasi.

Selain masalah pakan ternak, masalah lain yang teratasi adalah masalah sampah.

Baca juga: Warga Sleman Sulap Limbah Plastik Jadi Kerajinan Cantik 

Bahkan kotoran maggot pun disebutnya bisa digunakan untuk menyuburkan lahan pertanian.

Lebih lanjut, Arif Solihin dari Yayasan Rumah Kreatif Indonesia (Yarkindo) selaku konsultan kesehatan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat mengungkapkan bahwa maggot ini merupakan peluang yang bisa menghasilkan untung, baik bagi pembudidaya maggot, maupun peternak.

"Ini merupakan inovasi penanganan sampah organik untuk media pakan," ujarnya.

Ia mengungkapkan bahwa manusia tidak bisa lepas dari pangan, jasa dan sampah sampai kapanpun. 

Dan ia menekankan bahwa setiap orang sebenarnya mampu mengelola sampah sendiri.

Satu di antaranya adalah pengelolaan sampah secara zero waste. 

"Seluruh kegiatan manusia pasti akan menyisakan sampah. Dan ada banyak manfaat dari sampah organik, seperti untuk kompos dan dalam dalam hal ini juga bisa digunakan untuk budidaya maggot. Walaupun sebenarnya ada sampah organik yang bisa langsung bisa buat pakan ternak," tambahnya. ( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved