Human Interest Story

Kisah Pemuda Klaten Otodidak Rakit Jam Tangan Kayu, Bisnisnya Moncer Diminati Jepang Hingga Afrika

Siapa menyangka jam tangan kayu yang dipakai oleh ratusan orang yang tersebar di sejumlah negara seperti Jepang, Prancis hingga Afrika Selatan berasal

Penulis: Almurfi Syofyan | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA/ Almurfi Syofyan
Afidha Fajar Adhitya saat merakit jam tangan kayu Eboni Watch di ruang kerja Eboni Watch di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Minggu (21/3/2021). 

TRIBUNJOGJA.COM, KLATEN - Siapa menyangka jam tangan kayu yang dipakai oleh ratusan orang yang tersebar di sejumlah negara seperti Jepang, Prancis hingga Afrika Selatan berasal dari Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.

Jam tangan kayu itu dirakit melalui tangan dingin seorang pemuda bernama Afidha Fajar Adhitya.

Pemuda berusia 31 tahun itu sudah 7 tahun merintis bisnisnya itu.

Ia memulai usahanya karena melihat peluang bisnis yang cukup menjanjikan di bidang tersebut.

Apalagi untuk Indonesia diyakini belum banyak perajin jam tangan kayu.

Baca juga: Vaksinasi Covid-19 Sektor Perbankan DI Yogyakarta Dimulai, Sasar 100 Pimpinan Bank Lebih Dulu

Mengusung nama Eboni Watch. Brand lokal tersebut menjelma menjadi salah satu kompetitor yang patut diperhitungkan oleh merek-merek dagang ternama lainnya.

Jam tangan kayu Eboni Watch buatan Afidha, memakai mesin jam yang ia pesan langsung dari Jepang.

Sementara untuk strap atau tali ia menggunakan kulit yang dipasok dari Yogyakarta.

Sedangkan kayu yang digunakan untuk bahan baku jam yakni kayu rosewood (sonokeling) dan kayu maple yang dibeli dari Surakarta.

"Ide awalnya saya buat jam tangan kayu ini karena memang sudah jatuh cinta dengan jam tangan kayu," ujar Afidha saat berbincang dengan Tribun Jogja di ruang produksi Eboni Watch di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Minggu (21/3/2021).

Menurut ayah dua anak itu, penghujung tahun 2014 dirinya ingin membeli jam tangan kayu.

Namun saat itu harga jam tangan kayu yang ada di pasaran harganya lumayan mahal, yakni masih di atas Rp 1 juta.

Afidha pun berfikir untuk membuat sendiri jam tangan kayu tersebut dan menjualnya untuk kalangan menengah ke bawah.

Ia lalu membuat desain jam tangan kayu melalui sebuah aplikasi desain.

Kemudian ia membawa desain itu kepada salah seorang perajin kayu di Yogyakarta.

"Saya tanya ke perajin, apakah bisa buat jam kayu seperti desain saya itu. Ternyata bisa dan saya pesan untuk beberapa unit saja waktu itu," jelasnya.

Pada awal Januari 2015, lanjut alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, setelah jam tangan kayu jadi dirinya iseng untuk menjual di salah satu platform media sosial.

Ia pun tidak menduga, tidak berapa lama setelah foto jam tangan kayu di unggah di media sosial respon pasar terkait dagangannya itu cukup bagus.

Uniknya, pembeli pertama dari jam tangan kayu hasil rakitan Afidha tersebut justru berasal dari Cape Town, Afrika Selatan.

"Yang buat berkesan itu ya pembeli pertama jam tangan kayu ini berasal dari Afrika Selatan. Dia sepertinya kolektor jam kayu," kenangnya.

Saat itu, Kata Afidha, pembeli asal Afrika Selatan itu memesan dua unit jam tangan kayu Eboni Watch tersebut.

"Saat aku jual per unitnya di bawah Rp 1 juta. Tapi ongkirnya mahal, kalau nggak salah Rp 600 ribuan," ucapnya.

Penampakan jam tangan kayu Eboni Watch di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Minggu (21/3/2021).
Penampakan jam tangan kayu Eboni Watch di Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Minggu (21/3/2021). (TRIBUNJOGJA/ Almurfi Syofyan)

Selanjutnya, kata Afidha, hasil penjualan tersebut ia putarkan lagi untuk membuat jam tangan kayu pada tahun 2015 tersebut.

Seiring berjalannya waktu, ia pun menemui kendala di bidang produksi.

Saat itu, perajin kayu yang biasa bekerjasama dengan dirinya kesulitan dalam menyelesaikan pesanan jam kayu.

"Kita kan pesan seminggu, janjinya bisa selesai eh tahu-tahunya jadi dua minggu. Lalu, saat dipaksa bisa selesai seminggu ternyata hasilnya nggak bagus," urainya.

Mendapati fakta demikian, Afidha nekat untuk membuat sendiri jam tangan kayu tersebut.

Ia pun memindahkan tempat produksi yang awalnya di Yogyakarta ke Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Afidha belajar secara otodidak bagaimana cara memotong kayu dan membuat desain secara sendiri.

"Saya nggak ada keahlian sebenarnya di bidang perkayuan, tapi saya belajar secara otodidak sehingga bisa membuatnya," jelasnya.

Diakui Afidha, pernah pada suatu masa, dirinya bertindak sebagai pembuat dan penjual.

Hal itu karena belum adanya karyawan yang bisa ia pekerjakan karena masih memproduksi secara rumahan.

"Itu berlangsung selama hampir setahun mulai tahun 2016 sampai 2017 seperti one man show gitu. Semuanya dari membuat, memfoto, ngadmin media sosial hingga menjual aku sendiri," katanya.

Ia mengatakan menjelang akhir tahun 2017, barulah ia bisa mulai merekrut karyawan satu persatu.

Saat ini, Eboni Watch, kata dia telah mampu mempekerjakan karyawan sebanyak 17 orang.

"Jumlah 17 orang itu hanya 8 orang yang berada di bagian produksi. Sisanya tim admin penjualan online," imbuhnya.

Baca juga: Tiga Tenaga Ahli Bupati Bantul era Suharsono Akan Mengundurkan Diri

Lanjutnya, 8 karyawan yang bekerja di bidang produksi itu bisa menghasilkan jam kayu hingga 1.200 unit per bulan.

Adapun untuk harga jual jam Eboni Watch, kata dia berkisar antara Rp 300 ribu hingga Rp 1 jutaan.

"Saat ini kita sudah memiliki sekitar 35 model jam. Setiap tahun kita keluarkan minimal dua desain baru," ucapnya.

Disinggung terkait ke mana saja jam tangan kayu itu dijual, diakui Afidha sudah mencapai banyak negara.

"Untuk luar negeri, ada pembeli dari Jepang, Korea Selatan, Prancis, Amerika Serikat hingga Afrika Selatan. Kalau negara Asia Tenggara sudah semuanya," tandasnya. (Mur)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved