Ki Seno Nugroho
100 Hari Meninggalnya Ki Seno Nugroho :Kisah Wayang Bagong Yang Turut Dimakamkan Bersama Sang Dalang
100 Hari Meninggalnya Ki Seno Nugroho :Kisah Wayang Bagong Yang Turut Dimakamkan Bersama Sang Dalang
Penulis: Yudha Kristiawan | Editor: Yudha Kristiawan
Bila disarikan hikmah yang dapat dipetik dari sosok Bagong adalah mencontohkan sikap jujur yang menjadi salah satu modal dalam hidup bermasyarakat. Namun disatu sisi, di manapun berada, harus menghormati aturan yang berlaku di tempat tersebut.

Zaman Kerajaan
Dikutip dari berbagai sumber, gaya bicara tokoh Bagong dalam pewayangan yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda kala itu.
Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram.
Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.
Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya.
Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Panjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.
Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura.
• Siaran Langsung dan Live Streaming Everton vs Tottenham Tayang di TV Partner beIN SPORTS 2 RCTI
• INFO SHIO : Ada 5 Shio Yang Diprediksi Bakal Hoki Hari Kamis 11 Februari 2021, Ini Ulasannya
• SEVILLA vs BARCELONA: Prediksi, Lineup, Taktik, Berita Tim & Link Live Streaming Copa del Rey
Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta di Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja.
Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang punakawan dalam setiap pementasan mereka.