Ki Seno Nugroho
100 Hari Meninggalnya Ki Seno Nugroho :Kisah Wayang Bagong Yang Turut Dimakamkan Bersama Sang Dalang
100 Hari Meninggalnya Ki Seno Nugroho :Kisah Wayang Bagong Yang Turut Dimakamkan Bersama Sang Dalang
Penulis: Yudha Kristiawan | Editor: Yudha Kristiawan
TRIBUNJOGJA.COM - Genap 100 hari sudah Ki Seno Nugroho meninggal dunia.
Masih lekat dibenak para penggemar pemainan wayang kulit ala Dalang yang sukses menarik minat para milenial kembali menyukai kesenian wayang ini.
Salah satu karakter wayang kerap dimainkan Ki Seno dan menjadi ikon permainannya adalah sosok Bagong.
Saat itu, pada prosesi pemakaman Ki Seno Nogroho, dua wayang kulit ikut dikuburkan bersamaan dengan jenazah Dalang milenial tersebut. Salah satunya adalah Bagong dan satu lagi karakter Bima.
• Kinan, Jenar, dan Alif Persembahkan Lagu untuk Mendiang Ki Seno Nugroho
• Silahkan Dicoba Bun, Agar Sirkulasi Dapur Tambah Maknyus, Tempatkan Tanaman Berikut ini
• VIDEO: Info Cuaca BMKG Kamis 11 Februari 2021: Waspada Potensi Cuaca Ekstrem
Tokoh Bagong sendiri merupakan lakon yang paling sering dibawakan Ki Seno Nugroho di setiap pagelaran wayang kulit yang ia pentaskan.
Tokoh Bagong menjadi bagian dari keluarga Punakawan dalam cerita pewayangan Jawa.
Bagong sendiri digambarkan sebagai sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama.
Gaya bicara Bagong cenderung ceplas ceplos apa adanya, meskipun demikian orang lain tetap bisa memaklumi.
Bagong adalah anak angkat ketiga Semar. Dia adik Gareng dan Petruk.
Diceritakan dalam dunia pewayangan, salah satu versi menyebutkan bagaimana Bagong diciptakan pemilik Alam semesta.
Gareng dan Petruk meminta dicarikan teman, Sang pemilik Alam semesta bersabda, bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri.
Seketika itu bayangan keduanya berubah menjadi sesosok manusia dan selanjutnya diberi nama Bagong.
Secara fisik, Bagong digambarkan memiliki postur yang pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut nya lebih lebar.
Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan.
Di satu sisi, Bagong adalah sosok yang memiliki sifat jujur dan memiliki sejumlah kesaktian.
Bila disarikan hikmah yang dapat dipetik dari sosok Bagong adalah mencontohkan sikap jujur yang menjadi salah satu modal dalam hidup bermasyarakat. Namun disatu sisi, di manapun berada, harus menghormati aturan yang berlaku di tempat tersebut.

Zaman Kerajaan
Dikutip dari berbagai sumber, gaya bicara tokoh Bagong dalam pewayangan yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda kala itu.
Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram.
Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-Belanda.
Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya.
Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Panjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.
Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengkritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.
Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura.
• Siaran Langsung dan Live Streaming Everton vs Tottenham Tayang di TV Partner beIN SPORTS 2 RCTI
• INFO SHIO : Ada 5 Shio Yang Diprediksi Bakal Hoki Hari Kamis 11 Februari 2021, Ini Ulasannya
• SEVILLA vs BARCELONA: Prediksi, Lineup, Taktik, Berita Tim & Link Live Streaming Copa del Rey
Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwono I yang bertakhta di Yogyakarta.
Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.
Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja.
Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang punakawan dalam setiap pementasan mereka.