Art and Culture

Pertunjukan Pantomim 'Tatag, Teteg, Tutug' : Tularkan Spirit Berkarya di Tengah Pandemi

Bukan sekadar dokumentasi karya, sebab tiga seniman pantomim ini mampu menyampaikan greget dan aura pertunjukan melalui bahasa sinematografi

dok.istimewa
Pertunjukan Pantomim Tatag, Teteg, Tutug yang digagas tiga seniman pantomim, Asita Kaladewa, Ende Riza, dan Banon Gautama. 

TRIBUNJOGJA.COM - Tak dapat dipungkiri, pandemi Covid-19 yang luar biasa dahsyat menghantam nyaris melumpuhkan semua lapisan masyarakat serta sektor kehidupan, tidak terkecuali seni pertunjukan.

Namun, kondisi ini tak menyurutkan semangat tiga seniman pantomim Tanah Air yakni Asita Kaladewa, Ende Reza, dan Banon Gautama, untuk terus berkarya.

Ketiganya mengubah medium ruang pentas ke Virtual CineMIME pertunjukan pantomim berjudul 'Tatag, Teteg, Tutug', yang bisa diakses siapa saja, kapan aja, dan dimanapun berada. 

Meski diproduksi secara sinema, pertunjukan pantomim berjudul 'Tatag, Teteg, Tutug' sudah dipentaskan secara langsung saat dilaunching di Royal House, Sleman, 8 Januari 2021 lalu, disertai sesi diskusi.

Di karya ini, Asita Kaladewa, Ende Reza, dan Banon mengajak pemirsa menyaksikan kedalaman imajinasi, ekspresi gerak tubuh, aktualita mimik wajah, serta ketajaman intuisi menerjemahkan kondisi yang dirasakan di tengah pandemi saat ini.

Bukan sekadar dokumentasi karya, sebab tiga seniman pantomim ini mampu menyampaikan greget dan aura pertunjukan melalui bahasa sinematografi.

Tatag, Teteg, Tutug merupakan sebuah refleksi bathin yang telah matang di tengah masa pandemi bahwa kreativitas justru menjadi pandemi baik yang menghancurkan pandemi busuk dalam lingkaran kehidupan manusia.

Tidak memiliki rasa sumelang atau kawatir dan tabah, merujuk kekuatan respon pribadi dari tekanan luar dirinya .

Sifat internal keteguhan hati diwakili oleh kata teteg atau kokoh, tidak bergerak (bakoh) kuat hati.

Tatag yang didukung oleh rasa teteg atau tatag dan teteg saling melengkapi dari kata majemuk.

Kekuatan hati yang memampukan diri menata rasa kawatir sehingga tutug (sampai tujuan).

"Kita merasakan masa pandemi, banyak bidang yang terkena imbas seperti efek domino, salah satunya kesenian. Saya bersama teman-teman itu berpikir, apakah di tengah situasi saat ini kasarannya weteng ngelih apakah bisa tetap berkarya? Kemudian kan kami berpikirnya bukan lagi soal bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak," ujar Asita Kaladewa ditemui Tribun Jogja di kediamannya di Bantul, DI Yogyakarta.

Dijelaskan Asita, yang menarik dari karya ini adalah style ketiga pantomim yang berbeda, meski tunggal guru yakni maestro pantomim asal Yogyakarta, Jemek Supardi.

"Di karya ini kami mencoba jujur, jangan berpikir tentang pasar, seidealis-idealisnya karena itu akan menjadi catatan sejarah. Nah dari ketiga seniman pantomim ini, benar-benar punya style berbeda, itu yang saya lihat dan rasakan," ujar Asita.

"Soal pemikiran itu bisa disambungkan, tapi visual sangat berbeda. Mas Banon yang sangat ilustratif, Mas Ende Reza dengan pantomim klasiknya yang kuat, saya pun dengan ciri saya sendiri. Ciri berbeda itu yang kita keluarkan di karya ini, semua orang bisa tutug dengan ke diriannya masing-masing," tambahnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved