Muncul Wacana PSBB di Daerah Istimewa Yogyakarta, Ini Pertimbangan Sri Sultan HB X

Sri Sultan HB X pun tetap berharap masih ada ruang untuk mendisiplinkan masyarakat, daripada harus berlakukan PSBB.

Penulis: Miftahul Huda | Editor: Muhammad Fatoni
TRIBUN JOGJA/ MIFTAHUL HUDA
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, mempertimbangkan dampak implikasi PSBB di Daerah Istimewa Yogyakarta 

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, mempertimbangkan sejumlah dampak yang mungkin timbul, bila wacana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Menurut Sri Sultan, pertimbangan dampak terhadap implikasi PSBB tersebut masih akan dirumuskan.

Dan pada siang ini, Selasa (29/12/2020), Gugus Tugas penanganan Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan membahas rencana penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY.

Sri Sultan HB X pun tetap berharap masih ada ruang untuk mendisiplinkan masyarakat, daripada harus berlakukan PSBB.

"Ya nanti kan ada rapat, kami akan lihat perkembangannya seperti apa. Apakah mendisiplinkan masyarakat masih punya ruang," katanya, saat ditemui di Kepatihan, Selasa (29/12/2020).

Baca juga: Setelah Rekomendasikan PSBB, DPRD DIY Usulkan Penutupan Obyek Wisata yang Dikelola Pemerintah

Baca juga: BREAKING NEWS: Sekda DIY Restui Lockdown Kawasan Tugu-Malioboro-Titik Nol Yogyakarta Saat Tahun Baru

Karena menurut Sultan, ketika memberlakukan PSBB, itu artinya model penanganan Covid-19 harus side back atau melihat mundur ke belakang.

Dari perspektif tersebut, dampak yang akan terjadi menurut Sultan perlu dipertimbangkan.

"Karena dengan PSBB kami pertimbangkan implikasinya. Berarti kita side back. Nah, itu akan punya risiko apa. Biar nanti Pak Wagub merapatkannya di pertemuan," tegasnya.

Gubernur DIY Sri Sultan HB X tegaskan pelaku perjalanan yang ke Yogyakarta wajib rapid test, Jumat (18/12/2020)
Gubernur DIY Sri Sultan HB X tegaskan pelaku perjalanan yang ke Yogyakarta wajib rapid test, Jumat (18/12/2020) (TRIBUNJOGJA/ Miftahul Huda)

Di sisi lain, untuk persiapan vaksin sejauh ini oleh pemerintah DIY, Sultan menjelaskan belum ada keputusan kapan mulai didistribusikan.

"Belum ada keputusan, karena itu kan priorotas pertama untuk mereka-mereka yang bertugas, nakes dan lain-lain. Mungkin yang periode kedua bisa jelas. Kalau yang sekarang belum," pungkasnya.

Rekomendasi DPRD 

Desakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terkait pembatasan mobilitas manusia di dalam kota, hingga pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), turut direspon oleh pemerintah DIY.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Kadarmanta Baskara Aji, menyampaikan rekomendasi dari legislatif tersebut masih dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan di DIY.

Apabila PSBB betul-betul diterapkan di DIY, pemerintah akan melakukan evaluasi terkait seberapa efektif langkah tersebut mampu mengurangi angka kasus COVID-19.

"Nanti akan kami evaluasi. Apakah jika PSBB bisa menekan banyak angka penularan. Karena PSBB itu lebih kepada bagaimana pemerintah menekan klaster dari luar kota," katanya, saat dijumpai di Kepatihan, Senin (28/12/2020).

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Kadarmanta Baskara Aji
Sekretaris Daerah (Sekda) DIY Kadarmanta Baskara Aji (TRIBUNJOGJA.COM / Miftahul Huda)

Sementara untuk saat ini, ia meyakini bahwa klaster yang muncul di DIY bukan dari kasus import atau luar kota melainkan sudah menjadi klaster tetangga rumah, dan klaster perkantoran.

Sehingga rekomendasi dari dewan tersebut masih akan dipertimbangkan oleh para pemangku kebijakan di pemerintah DIY.

"Karena angka penularan sekarang itu dari klaster tetangga atau keluarga. Jadi sulit untuk dikendalikan," ungkapnya.

Baca juga: Muncul Wacana PSBB di Yogyakarta, Buruh: Jangan Menimbulkan Masalah Baru Bagi Pekerja

Baca juga: DPRD DIY : Saatnya Gubernur DI Yogyakarta Pertimbangkan Opsi PSBB

Aji menambahkan, saat ini pemerintah DIY masih melakukan analisa terkait perkembangan kasus Covid-19 sebagai bahan pertimbangan kebijakan selanjutnya.

"Tentu kami akan meminta masukan kepada Epidemiolog  juga. Kira-kira apa yang harus kita lakukan ke depan. Kami harus mengupayakan sebaik-baiknya agar tidak ada penularan lebih banyak lagi," tambahnya.

Pembatasan Mobilitas

Epidemiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM dr Riris Andono Ahmad mengatakan jika melihat parameter kasus harian yang terjadi di DIY, dengan rata-rata per harinya 150-200 kasus, serta positivity rate yang menurutnya mencapai sekitar 18-20 persen mengindikasikan penyebaran Covid-19 sudah semakin meluas.

Ia juga menjelaskan jika sistem kesehatan pemerintah DIY saat ini sudah menunjukan alert.

Menurutnya dari indikator tersebut perlu dilakukan langkah yang lebih pasti.

Selain itu, Riris juga nampak pesimis jika pengendalian hanya dilakukan dengan mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak (3M).

"Jadi kalau hanya mengandalkan 3 M saja sudah tidak memadai," katanya.

Anggota Tim Perencanaan Data dan Analisis Gugus Tugas Covid-19 DIY, Riris Andono
Anggota Tim Perencanaan Data dan Analisis Gugus Tugas Covid-19 DIY, Riris Andono (TRIBUNJOGJA.COM / Kurniatul Hidayah)

Alasannya, penerapan 3 M sama ibaratnya dengan penggunaan APD.

Apabila penyebaran virus sudah sangat tinggi, maka APD yang ada tidak akan cukup mampu menahan.

Sebagai langkah pengendalian, Riris sejalan dengan kalangan dewan yakni menghentikan mobilitas secara massif.

"Ketika penularan sangat tinggi, bergantung dengan APD saja tidak cukup. Satu-satunya cara ya menghentikan mobilitas," tegasnya.

Baca juga: Pemda DI Yogyakarta Minta Saran Epidemiolog Terkait Opsi PSBB

Baca juga: Harga GeNose C19 Alat Pendeteksi Cepat Covid-19 Buatan Peneliti UGM

Ia mengatakan, pemerintah DIY harus kembali ke langkah awal penanganan Covid-19 untuk mengendalikan penyebaran, di antaranya penerapan WFH, pembatasan mobilitas dan kebijakan yang lainnya.

Riris mengakui, saat memasuki Juni-Juli lalu pemerintah DIY masih bisa mengendalikan penyebaran Covid-19.

"Setelah itu muncul new normal. Kebijakan new normal ini salah kaprah. New normal diartikan kegiatan dibuka, asal seseorang sudah menerapkan prokes dirasa aman. Sementara pengawasan tidak ada," ujarnya.

( Tribunjogja.com )

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved