Letusan Merapi 1994

Inilah Kesaksian Fotografer Saat Letusan Merapi 22 November 1994 Menyapu Turgo dan Kaliurang Barat

Dedi H Purwadi, saat itu fotografer surat kabar Harian Bernas, menembus Kaliurang yang sebagian sudah diblokir dan warganya mengungsi ke Pakem

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
DOK | DEDI H PURWADI
Suramto terus mencatat perkembangan visual letusan Merapi, di teras Pos Plawangan, Kaliurang 

TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN – Gunung Merapi meletus dahsyat 22 November 1994. Tidak banyak jurnalis yang menyaksikan momen itu dari jarak dekat.

Dedi H Purwadi, saat itu fotografer surat kabar Harian Bernas (sudah tidak terbit), menembus Kaliurang yang sebagian sudah diblokir dan warganya mengungsi ke Pakem.

Walau terlambat hampir dua jam sejak letusan awal, Dedi Purwadi berusaha mendapatkan gambar-gambar paling baru dan langka dari area terdampak letusan.

Dedi H Purwadi (kiri) bersama Anugerah Wira di puncak gunung Merapi saat pendakian 2017 (Foto Koleksi Pribadi Dedi H Purwadi)
Dedi H Purwadi (kiri) bersama Anugerah Wira di puncak gunung Merapi saat pendakian 2017 (Foto Koleksi Pribadi Dedi H Purwadi) (DOK | Koleksi Pribadi DEDI H PURWADI)

Ia satu-satunya jurnalis yang mencapai Pos Plawangan, bertemu empat petugas pos, lalu mengabadikan luncuran awan panas Merapi dari jarak paling dekat.

“Saat sampai di tangga masuk halaman pos, saya berteriak…hoiiiii, untuk cari tahu ada petugas atau tidak. Ternyata ada sahutan dari dalam pos, sembari memanggil nama saya,” kata Dedi Purwadi kepada Tribunjogja.com, Sabtu (21/11/2020).

“Alhamdulillah, berarti di dalam ada petugas. Seingat saya, itu suara Pak Narto (Sunarto, pengamat Merapi di Pos Plawangan),” imbuhnya. Sunarto sekarang sudah pensiun, tinggal di Klaten.

Saat Dedi Purwadi tiba di dalam pos, ia melihat Panut, petugas lain, menerima panggilan dari kantor induknya, supaya semua petugas bersiap meninggalkan pos.

Selama beberapa jam tersisa, Dedi Purwadi mendokumentasikan momen-momen luncuran awan panas Merapi dari Pos Plawangan.

Baca juga: Letusan Merapi 22 November 1994 Terjang Turgo, Panut Berlari Mendaki ke Pos Plawangan

Dari kiri ke kanan: Suramto, Sunarto, Panut dan Sugiyoto, berlatar Merapi yang terus mengeluarkan awan panas, beberapa menit sebelum meninggalkan Pos Plawangan. Momen ini menandai peristiwa bersejarah penutupan pos selama-lamanya sejak 22 November 1994
Dari kiri ke kanan: Suramto, Sunarto, Panut dan Sugiyoto, berlatar Merapi yang terus mengeluarkan awan panas, beberapa menit sebelum meninggalkan Pos Plawangan. Momen ini menandai peristiwa bersejarah penutupan pos selama-lamanya sejak 22 November 1994 (DOK | DEDI H PURWADI)

Dari depan pos ini, gunung berapi itu terlihat menjulang. Tak ada penghalang sama sekali ke arah gunung, karena di depan pos adalah lembah.

Petualangan Dedi Purwadi ke Pos Plawangan, ketika petaka menyapu Turgo dan sebagian Kaliurang Barat, bermula saat ia tiba di kantornya di Jalan Jenderal Sudirman 52, Kotabaru.
Ia tidak pernah mendengar kabar apa-apa tentang aktivitas Merapi. Apalagi info tanda-tanda bakal meletus.

Alat komunikasi masih sangat terbatas. Telepon seluler belum ada. Peralatan fotografi masih analog, menggunakan film yang proses cetaknya tidak bisa instan.

“Saya, saat itu bisa dikatakan sebagai satu-satunya wartawan yang “beruntung”. Pertama, saya merasa beruntung karena bisa merekam/memotret kondisi Merapi meletus dari jarak cukup dekat, meskipun terlambat hampir dua jam, yaitu dari Pos Plawangan,” tulis Dedi Purwadi dalam testimoninya.

Foto karya Dedi Purwadi kala itu dipublikasikan kantor berita internasional AFP dan Reuter. “Saya juga bersyukur mendapati empat petugas pos Plawangan selamat dan merekam dedikasi mereka hingga akhir tugas di pos itu,” lanjutnya.

Menunaikan tugasnya, Dedi Purwadi pulang ke kantor sembari membawa dua (2) rol film (1 film warna dan 1 film hitam putih). Film itu berisi rekaman foto situasi di Kali Boyong yang telah dipenuhi material letusan.

Foto lain suasana tempat wisata Kaliurang yang mirip kota mati. Sisanya foto-foto awan panas yang masih bergumpal-gumpal dari puncak Merapi, serta aktivitas terakhir empat pengamat di Pos Plawangan sebelum meninggalkan tempat tugasnya.

“Keberuntungan itu saya peroleh berbekal informasi yang sangat minim, dan tanpa alat telekomunikasi mobile pada saya,” ujar jurnalis yang kini menekuni dunia membatik.

Mendapat Kabar Merapi Meletus

Suramto terus mencatat perkembangan visual letusan Merapi, di teras Pos Plawangan, Kaliurang
Suramto terus mencatat perkembangan visual letusan Merapi, di teras Pos Plawangan, Kaliurang (DOK | DEDI H PURWADI)

Telepon seluler menurutnya baru segelintir orang yang punya. Smartphone belum ada. Dedi pertama menerima kabar Merapi meletus dari sekretaris di kantor, begitu ia tiba di ruang kerja.

“Ded, Merapi meletus,” kata Dedi menirukan kata-kata sang sekretaris redaksi. Hanya itu informasinya. Tentang seperti apa, ke arah mana dan di sisi mana letusannya, sekretaris itu mengaku tak memiliki informasi.

“Dia memberi tahu saya karena tahu saya cukup kerap meliput Merapi,” lanjut Dedi. Ia lalu berusaha menelepon kantor Pengamatan Gunung Merapi, yang saat ini jadi BPPTKG Yogyakarta. Yang terdengar hanya nada sibuk.

“Saya menelepon Pos Pengamatan Plawangan. Sama. Nada sibuk yang terdengar. Keputusan saya: langsung ke Kaliurang. Tak ada atasan yang bisa saya lapori, karena mereka belum datang,” ungkapnya.

Dedi bergegas ke Terminal Terban, mencari kendaraan umum Yogya-Kaliurang. Mobil kantor sedang dipakai liputan ke tempat lain.

Di angkutan umum jurusan Kaliurang, Dedi tidak mendapat informasi memadai. Menurut pengemudi, letusan Merapi menghantam Dusun Turgo. Keterangan lain, warga Kaliurang sudah mengungsi.

Turgo Disapu Awan Panas

Di sepanjang perjalanan, ia memperhatikan terus arah utara, yaitu posisi Merapi. Dalam pandangan Dedi, Merapi sama sekali tak terlihat, padahal hari cerah.

Sampai di pertigaan Pusdik Wara, Kaliurang , sekarang ada monument Udang, jalan sudah dipalang bambu. Ada dua atau tiga petugas berjaga. Dari petugas, Dedi menerima informasi dan konfirmasi benar Dusun Turgo tersapu awan panas.

Ia segera jalan kaki ke arah barat Kaliurang. Tujuan ke Dusun Turgo menyeberang Kali Boyong. “Saya sudah hapal jalur ini. Tapi, begitu sampai di Kali Boyong, yang saya hadapi adalah hamparan material letusan yang masih berapi dan mengepul di sana-sini,” katanya.

Dedi mengurungkan niat menyeberang. Tak ada pilihan baginya, kecuali naik ke bukit Plawangan. Itu artinya saya harus balik ke timur, kemudian berjalan lagi sekitar dua kilometer, dilanjutkan mendaki bukit Plawangan sekitar setengah jam.

Masalahnya, saat itu kondisi puncak Plawangan tidak ia ketahui. “Saya hanya tahu saat itu sisi selatan Plawangan, yaitu kawasan wisata Kaliurang aman, tak ada abu terlihat di sini, kecuali di sisi barat di tepi Kali Boyong,” lanjut Dedi.

Memutuskan Naik ke Pos Plawangan

Letusan Merapi, Selasa 22 November 1994 diabadikan dari Pos Plawangan, Kaliurang, Sleman
Letusan Merapi, Selasa 22 November 1994 diabadikan dari Pos Plawangan, Kaliurang, Sleman (DOK | DEDI H PURWADI)

Ia mencoba mencari informasi lagi ke Kantor Telepon Kaliurang. Mencoba menelepon Pos Plawangan. Lagi-lagi, yang terdengar nada sibuk. Tidak ada pilihan baginya, kecuali memutuskan langsung naik ke Plawangan.

Masalah sepele tapi penting, muncul. Dedi tak membawa perbekalan minum. Saat itu ia berpikir kemungkinan di Tlogo Putri masih ada warung buka. Ternyata, Tlogo Putri, walaupun tak terimbas bencana, bagai kota mati.

Beruntunglah ia mendapati botol air kemasan berisi seperempatnya tergolek di jalan dekat lapak buah. “Saya periksa dan saya yakin air ini masih aman diminum, lalu saya bawa sebagai bekal mendaki,” ungkap alumnus UGM ini.

“Kurang dari sejam mendaki, saya sampai di pintu masuk area Pos Pengamatan Merapi Plawangan (1.267 mdpl). Saya lihat kondisi vegetasi sekitar masih utuh, tidak terdampak letusan,” lanjut pemilik merek Batik Jolawe ini.

Cerita bersama empat petugas yang bertahan di Pos Plawangan sudah ia beberkan di awal kisah ini. Mereka segera berbagi cerita. Dedi mencari tahu apa yang terjadi, mendengar pengalaman mereka di menit-menit menegangkan.

Baca: Cerita Letusan Merapi 22 November 1994 yang Menerjang Turgo

“Saya melihat, meski mereka masih bisa tertawa, ada kekhawatiran di wajah mereka tentang keselamatan diri mereka. Betapa tidak, mereka berada pada posisi paling dekat ke Merapi, sementara orang-orang di bawah sana sudah mengungsi,” urainya.

Kekhawatiran itu menurut Dedi Purwadi manusiawi. Apalagi, menurut Panut, saat awal-awal letusan sempat terjadi hembusan gas menghantam kaca pos pengamatan hingga pecah. Mereka pun, walau akrab dengan Merapi, mengaku tetap takut.

Menjelang Ashar, keempat petugas Pos Plawangan, dan Dedi Purwadi turun. Sebelum meninggalkan Plawangan, Dedi Purwadi memotret empat petugas itu berlatar belakang Merapi yang masih meluncurkan gumpalan-gumpalan awan panas.

“Inilah saat terakhir mereka bertugas di Pos Plawangan. Sejak itu Pos Plawangan berakhir masa tugasnya setelah hamper 40 tahun beroperasi di garis terdepan.

Beriringan mereka menuruni jalan setapak bukit Plawangan menuju Kaliurang. Dedi melanjutkan perjalanan ke Kota Yogya.

Satu kilometer dari pertigaan Pusdik Wara, Dedi bertemu wartawan Jawa Pos, dan ia memperoleh tumpangan sepeda motor ke kantor.

Sepanjang perjalanan turun ke kota, Dedi berulangkali menengok kea rah Merapi. Gunung itu ternyata tertutup rapat awan.

Tiba di kantor, Dedi Purwadi langsung mencetak foto, menyerahkan foto-fotonya ke Redaktur Pelaksana. Teman lain menyerahkan foto-foto yang mereka dapatkan di rumah sakit.

Dokumentasi peristiwa bersejarahitu hingga sekarang masih disimpannya sangat rapi.
“Sebagian wajah garang itu telah saya rekam dan simpan hingga hari ini, 26 tahun kemudian,” ujar Dedi Purwadi.(Tribunjogja.com/xna)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved