Berita Seni dan Budaya

10 Pitutur Semar Badranaya dalam Lakon Semar Mbangun Jiwo : Eling Lan Waspodo

Lakon Semar Mbangun Jiwo ini berkisah tentang sepenggal drama kekecewaan internal keluarga Amarta, yang nyaris berujung perang antara anak dan bapak

Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
IST
Semar Badranaya 

TRIBUNJOGJA.COM - Eling Lan Waspodo atau ingat dan selalu waspada. Itulah salah satu dari 10 pitutur Semar Badranaya dalam wayang kulit lakon Semar Mbangun Jiwo yang dipentaskan dalang Ki Geter Pramuji Widodo. Lakon ini dibawakan Ki Geter di pentas wayang climen, Selasa (17/11/2020) yang disiarkan secara langsung di channel You Tube Dalang Seno.

Adapun pertunjukan wayang climen ini dipersembahkan dalam rangka HUT ke-90 Gereja Santa Maria Pengantara Rahmat Ilahi Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.

Lakon Semar Mbangun Jiwo ini berkisah tentang sepenggal drama kekecewaan internal keluarga Amarta, yang nyaris berujung peperangan antara anak dan bapak.

Konflik demi konflik terus terjadi di lingkungan keluarga.

Hingga akhirnya muncul Semar Badranaya yang memberikan 10 pitutur yang harus dilakukan dalam menjalani kehidupan.

Baca juga: Alasan Ki Manteb Sudarsono Berikan Tiga Karakter Wayang Ini kepada Anak Ki Seno Nugroho

10 Pitutur Semar Badranaya

Semar Badranaya
Semar Badranaya (kompas.com)

Pitutur pertama, sikap hidup agar setiap orang rendah hati atau andhap asor. Orang tidak boleh merasa diri paling hebat dan tidak sombong.

Pitutur kedua, orang harus mampu memberi contoh dan teladan, supaya segala perilakunya memberi penerangan kepada orang lain.

Lalu di akhir wejangan, Semar Bodronoyo, mengingatkan, manusia itu harus beriman kepada Tuhan Yang Masa Esa secara sungguh-sungguh, spenuh hati dan jiwa.

Mengasihi sesama manusia seperti ia mencintai dirinya sendiri. Jika semua melaksanakan 10 laku utama hidup, dunia akan aman dan damai.

Secara khusus, Semar mengingatkan Boma dan Antareja, supaya menghormati orangtua. Mengunjingkan orangtua saja tidak boleh, apalagi melawan.

“Melawan orangtua itu hukumannya neraka, siksaan tidak akan hilang selamanya. Apakah kalian tidak tahu panasnya api neraka?” tanya Semar.

Pertanyaan Semar itu akhirnya menyadarkan Setija dan Antareja yang terlibat dalam konflik. Keduanya bersimpuh, meminta maaf kepada Semar dan Prabu Kresna dan Werkudara.

Semar kembali mengingatkan, sebaik-baiknya keberuntungan orang lupa atau tidak sadar, masih beruntung jika ia ingat dan waspada.

“Sak bejo-bejone wong lali, isih bejon wong eling lan waspodo,” kata Semar. Ia menegaskan, orang yang menyesali perbuatannya, untuk lebih adilnya, ia harus diampuni.

Setijo dan Antareja meminta maaf ke Kresna dan Werkudara. Keduanya diingatkan supaya tidak mengulangi perbuatan, dan mempertimbangkan setiap langkah perilakunya.

Baca juga: Tawaran Pak Manteb kepada Gading Pawukir Seno Saputro Anak Ki Seno Nugroho

Cerita Lakon Semar Mbangun Jiwo

Wayang kulit lakon Semar Mbangun Jiwo ini sebenarnya merupakan pentas ulangan lakon serupa 1 November 2020 lalu.

Lakon ini berkisah tentang sepenggal drama kekecewaan internal keluarga Amarta, yang nyaris berujung peperangan antara anak dan bapak.

Bermula ketika Prabu Setijo alias Boma Narokosuro curhat di hadapan patih dan saudaranya, Antarejo.

Boma Narokosuro ini putra Prabu Kresna dari Dwarawati. Sementara Antareja putra Werkudoro dari Jodipati.

Boma merasa dirinya dianaktirikan ayahnya, karena lebih memilih Gatotkaca sebagai penerima wahyu/pusaka dan kesaktian yang istimewa.

Kekecewaan Boma disambut perasaan sama oleh Antareja, yang merasa ayahnya Werkudoro lebih mengistimewakan adiknya, Gatotkaca.

Baca juga: Sambil Terbata-bata, Sinden Elisha Ucapkan Selamat Hari Ayah untuk Almarhum Ki Seno Nugroho

Di tengah acara curhat itu, datanglah dua tokoh tua Astina, Begawan Durna dari Sokalima dan Patih Sengkuni dari Plosojenar.

Lewat nasihatnya yang halus, Durna dan Sengkuni meminta Boma memperingatkan ayahnya tentang sikap menganaktirikan putra-putranya.

Menurut Durna, jika cara baik-baik tidak didengar Prabu Kresna, tidak ada salahnya diselesaikan secara ksatria. Provokasi ini berhasil mempengaruhi Setijo.

Emosi Boma dan Antarejo meledak. Mereka memerintahkan pasukan raksasa dari Trajutrisna, segera berangkat “nglurug” ke Amarto.

Prabu Kresna mereka perkirakan sedang berada di Kerajaaan Amarta, bukan di Kraton Dwarawati. Begitu juga Werkudara atau Bima.

Kabar kemarahan Boma dan Antareja itu sampai ke telinga Antasena dan Gatotkaca. Di tengah jalan, Antasena mencegat kakaknya, Antarejo.

Kepada adiknya, Antareja bersikeras ingin menemui ayahnya, Werkudoro, supaya tidak pilih kasih. Ia mengancam akan melawan ayahnya jika permintaannya tak dituruti.

Baca juga: Orang Dekat Ungkap Detik-detik Terakhir Ki Seno Nugroho, Bapak Meninggal dengan Wajah Tersenyum

Antasena Gagal Meredam Emosi Kakaknya

Antaseno terkejut, terus mengingatkan kakaknya supaya tidak melawan sang ayah. Karena tak bisa diredakan, Antarejo menyerang Antasena.

Keduanya berkelahi, hingga Antasena berhasil menekuk leher Antareja. Putra Werkudara yang sakti itu terus dinasihati supaya sadar, tidak melawan orangtua.

Tiba-tiba Prabu Boma datang membantu Antareja. Antasena ditendang, lalu lari ke Padepokan Karangkadempel, kediaman Semar dan anak-anaknya.

Prabu Kresna, Werkudara dan saudara-saudaranya ternyata tengah berada di tempat itu, bukan di Amarta.

Di tengah pertemuan, tiba-tiba datang Antasena dan Gatotkaca, yang melaporkan rencana kehadiran kakaknya dan Prabu Setijo ke Karangkadempel.

Werkudara alias Bima meledak amarahnya. Ia sudah bersiap menghadang putra dan Prabu Setijo, tapi dicegah Semar.

Begawan Ismaya yang tampil sebagai pemimpin para punokawan Pendawa, meminta semua yang hadir tenang, menyerahkan semua urusan kepada dirinya.

Tak lama Prabu Setijo dan Antaraja tiba, merangsek masuk ke pendopo Karangkadempel. Mereka langsung protes dan mencecar Prabu Kresna dan Werkudara.

Semar mengeluarkan kesaktiannya, membuat Prabu Setijo dan Antarejo akhirnya tak mampu bergerak. Mereka seperti dibekukan.

Semua yang hadir di pendopo Karangkadempel diminta mendengarkan. Nasihat itu diharapkan diresapi oleh putra dan cucu Pendawa. Semar minta maaf jika ada yang salah.

Setelah itu, Semar menyampaikan 10 pitutur luhur, pesan tentang 10 sikap utama dalam hidup dan kehidupan. Satu di antaranya pentingnya sikap rendah hati dan mengasihi sesama manusia.

Pentas ditutup adegan lucu saat tiba-tiba Petruk melesat keluar pendopo, menghadang Aswatama, yang beralasan mencari ayahnya, Begawan Durna.

Petruk menghajar dan mengusir Aswatama. Pasukan Trajutrisno yang semula hendak menyerbu Amarta, kabur kembali ke tempat asalnya.

Pentas wayang climen Wargo Laras akan istirahat selama beberapa hari, hingga melanjutkan pentas pada Sabtu, 28 November 2020.

Kali ini Ni Elisha Orcarus Alloso, dalang dan sinden asal Lambelu, Morowali, Sulawesi Tengah, akan tampil penuh mendalang.(Tribunjogja/xna)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved