KSPSI Kota Yogyakarta Menolak Keras Kenaikan UMK di Bawah Standar KHL
"Ya, menurut hasil survei yang kami lakukan, KHL di Kota Yogyakarta seharusnya sudah berada di angka Rp 3.356.521," ucapnya
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kalangan buruh dan pekerja menilai hitungan kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) Yogyakarta untuk 2021 sebesar Rp 65 ribu seperti yang sudah diusulkan oleh Dewan Pengupahan kepada Wali Kota Haryadi Suyuti, masih jauh dari Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Sekretaris Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kota Yogyakarta, Deenta Julliant Sukma menandaskan, KHL yang dimaksud, adalah yang sesuai dengan standar riil.
Dalam artian, bukan KHL versi Dewan Pengupahan yang angkanya justru jauh di bawah UMK 2020.
"Ya, menurut hasil survei yang kami lakukan, KHL di Kota Yogyakarta seharusnya sudah berada di angka Rp 3.356.521," ucapnya, saat dihubungi Selasa (10/11/2020).
Baca juga: Protokol Kesehatan Diterapkan dengan Ketat di Tempat Pengungsian Warga Lereng Merapi Magelang
Baca juga: DP3 Sleman : Proses Evakuasi Ternak Dilakukan Bertahap, Total 294 Sapi yang Harus Dipindahkan
Oleh sebab itu, ia berharap, Wali Kota tidak mengesahkan kenaikan UMK usulan Dewan Pengupahan tersebut, karena dinilai dianggap minim.
Secara tegas, KSPSI menolak keras kenaikan upah minimum, terutama di Kota Yogyakarta, seandainya tidak mencapai standar KHL.
"Apalagi, di masa pandemi Covid-19 yang mengakibatkan resesi seperti sekarang, perlu ada kenaikan upah minimum yang mencapai KHL, supaya bisa menaikkan daya beli dari warga masyarakat juga," ungkap Deenta.
Terlebih, ia menambahkan, seandainya upah murah masih terus diterapkan di Kota Yogyakarta, maka semakin sulit bagi para buruh, atau pekerja, untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Hal itu, tentu berdampak pada tingkat kemiskinan dan gini ratio DIY yang sangat memprihatinkan.
"Jika UMK, atau UMP mencapai KHL, itu bisa memperbaiki kondisi DIY yang kini tercatat sebagai daerah dengan tingkat kemiskinan terbesar di Jawa dan tingkat ketimpangan tertinggi di Indonesia," tandasnya.
Baca juga: Pemkab Magelang Siapkan Evakuasi untuk Hewan Ternak
Baca juga: UPDATE Covid-19 Gunungkidul : 7 Kasus Baru dan 9 Kasus Sembuh Pada 10 November 2020
Namun, sebaliknya, jika Wali Kota tetap mengesahkan UMK di bawah KHL, maka imbasnya adalah semakin besar defisit ekonomi buruh, atau pekerja di Kota Yogyakarta.
Kemudian, memperparah tingkat kemiskinan dan ketimpangan, yang tentu menjadi ironi bagi kota pelajar ini.
"Apabila Walikota tetap melanggengkan rezim upah murah, jelas sangat bertentangan dengan amanat konstitusi, bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan penghidupan dan pekerjaan yang layak," tegasnya.
"Bahkan, itu juga bertentangan dengan pidato pelantikan Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X, bertajuk 'Panca Mulia' pada 2017," imbuh Deenta. (aka)