Human Interest Story
Trauma Gempa, Lansia di Gunungkidul Ini Pilih Tinggal di Bangunan Tak Layak
Muhyi tetap memilih tinggal di bangunan tersebut, bahkan menyatakan pada anak-anaknya bahwa hidup-matinya hanya di rumah itu.
Penulis: Alexander Aprita | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Bangunan serba bambu yang berada di RT 25/RW 08 Pedukuhan Waduk, Kalurahan Salam, Patuk tersebut tampak tak layak ditinggali.
Dindingnya terbuka di semua sisi.
Lantainya pun pecah-pecah.
Namun di dalamnya, ada sesosok pria berusia senja yang tinggal di situ.
Ia terlihat berbaring di atas tempat tidur sederhana, dalam satu dari 3 ruangan yang ada di bangunan tersebut.
"Mbah Muhyi sedang tidur, mungkin sebentar lagi bangun," tutur Aminah (47), wanita yang tinggal di rumah sebelah bangunan tersebut.
• Lansia di Makassar Terpaksa Menumpang Karena Jalan ke Rumah Dipagari Tetangga, Ini Fakta Sebenarnya
Aminah merupakan anak kedua dari Mbah Muhyi (95), seorang kakek tua yang tinggal di bangunan ala kadarnya tersebut.
Aminah sendiri memilih tinggal di rumah hasil bantuan dari pemerintah, bersama beberapa adiknya.
Ia menceritakan, dulunya sekeluarga tinggal di rumah tersebut.
Kondisinya pun dulu masih layak untuk ditinggali.
Bangunan tersebut digunakan sejak Mbah Muhyi dan istrinya masih muda, saat masih bersama 6 orang anaknya.
Namun gempa besar yang terjadi pada 2006 silam mengubah kehidupan mereka secara drastis.
Rumah yang mereka tinggali sempat rusak parah lantaran dampak gempa.
"Setelah gempa memang sempat diperbaiki. Tapi kemudian dari pemerintah diberi rumah bantuan," jelas Aminah sambil menunjuk rumah berdinding bata, persis di sebelah bangunan bambu tersebut.
• Bangga Bisa jadi Relawan Gempa Lombok
Lantaran sudah mendapat rumah yang lebih layak, Aminah beserta saudara-saudaranya pun memutuskan pindah.
Begitu pula ibu mereka, yang ikut pindah lantaran merasa rumah lama mereka sudah tak layak lagi.
Namun tidak bagi Mbah Muhyi.
Mau berapa kali pun anak-anaknya mengajak, ia tetap menolak pindah.
Muhyi tetap memilih tinggal di bangunan tersebut, bahkan menyatakan pada anak-anaknya bahwa hidup-matinya hanya di rumah itu.
"Mbah Muhyi trauma karena gempa itu, dulu saat kejadian beliau bersembunyi di bawah tempat tidur karena takut," ungkap Aminah.
Saat tengah bercerita, suara Mbah Muhyi terdengar dari dalam bangunan; ia telah bangun dari tidur lelapnya.
Aminah pun lalu bergegas masuk ke ruangan kamar ayahnya itu untuk melihat keadaannya.
Mbah Muhyi sudah dalam posisi duduk saat dihampiri oleh Aminah.
Putrinya itu pun kemudian memberikan sekantong plastik berisi makanan.
Ia mengatakan selama ini dirinyalah yang mengurus Mbah Muhyi.
• Kisah Djanggan Purbo Djati, Dalang Cilik asal Kulon Progo Bercita-cita jadi Dalang Profesional
"Saudara-saudara saya sebagian merantau, ada yang ke Jakarta sampai Lampung," jelasnya.
Lantaran usianya sudah renta, Mbah Muhyi pun juga harus dituntun Aminah saat akan melakukan urusan buang air.
Sesekali ia keluar berjalan dengan menggunakan tongkat.
Meski umurnya sudah nyaris seabad, Mbah Muhyi tetap aktif bergerak.
Aminah mengatakan sesekali ia tetap bertani ke ladang, jika kondisinya sedang sehat dan bugar.
Aminah bersama saudara-saudaranya yang tinggal di situ menyimpan keinginan untuk kembali memperbaiki rumah tersebut.
Apalagi Mbah Muhyi ingin di sana sampai akhir hayatnya.
"Tapi mau memperbaiki juga bagaimana, kami sedang tidak ada uang," katanya.(TRIBUNJOGJA.COM)