Bantul
Hanya Ada Dua Perempuan yang Mencalonkan Diri Jadi Kepala Desa di Bantul
Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Desa, Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul, Kurniantoro, menjelaskan para calon kepala desa tersebut berdasarka
Penulis: Santo Ari | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, BANTUL - Sebanyak 75 calon kepala desa akan mengikuti pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak pada 27 Desember mendatang.
Namun dari jumlah tersebut, hanya dua ada dua orang perempuan yang turut berlaga dalam kontestasi politik tersebut, yakni dari Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sewon dan Desa Tamanan, Kecamatan Banguntapan.
Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Desa, Sekretariat Daerah Kabupaten Bantul, Kurniantoro, menjelaskan para calon kepala desa tersebut berdasarkan hasil seleksi panitia Pilkades.
Dari 24 desa yang akan menyelenggarakan Pilkades, sebanyak 73 orang merupakan calon lurah (kepala desa) laki-laki dan hanya dua orang saja calon lurah perempuan.
• Perselisihan dan Pertengkaran, Faktor yang Mendominasi Perceraian di Bantul
Kurniantoro menjelaskan bahwa Pilkades akan diselenggarakan setelah 9 Desember atau setelah Pilkada Serentak 2020.
Sejauh ini proses tahapan Pilkada sempat terkendala karena pandemi Covid-19.
"Tahapan akan dilanjutkan kembali pada Senin, 21 Desember 2020 dengan tahapan kampanye calon lurah. Kemudian untuk pemilihan lurah rencananya akan dilakukan pada 27 Desember 2020," jelasnya.
Dengan hanya dua orang perempuan yang mencalonkan diri menjadi lurah, membuat anggota DPRD Bantul, Arni Tyas Palupi angkat bicara.
Sebagai politikus perempuan, ia menyayangkan minimnya calon kepala desa dari kalangan perempuan.
Sebenarnya tidak hanya di tingkat desa, ia menyebut keterwakilan perempuan di DPRD dalam periode ini juga minim.
Bahkan dari periode ke periode selanjutnya juga mengalami penurunan. Periode ini dari 45 anggota DPRD hanya empat orang perempuan atau 8,8% saja.
Namun demikian, ia meyakini banyak perempuan di Bantul yang berpotensi mampu memimpin tingkat desa.
• Pemkab Bantul Klarifikasi Informasi Terkait Protes Tenaga Kontrak
Hal itu berdasarkan hasil pemberdayaan dan pendidikan politik yang dilakukannya di masyarakat.
"Kami sadar budaya di Indonesia khususnya Jawa unsur patriarki masih tinggi. Padahal menjadi pemimpin publik beda dengan pemimpin agama," jelasnya.
Berdasarkan dugaannya, sedikitnya jumlah perempuan yang mencalonkan diri menjadi pemimpin dikarenakan terkendala izin dari suami atau keluarga.
Padahal menurutnya, daya tarik perempuan menjadi pemimpin publik cukup tinggi dan mampu memobilisasi massa selama mendapat dukungan dari keluarga.
"Saya berharap, dua orang perempuan yang mencalonkan diri di Desa Pendowoharjo dan Tamanan benar-benar keinginan pribadi untuk memajukan wilayahnya," tutupnya.(TRIBUNJOGJA.COM)
