Update Corona di DI Yogyakarta
Diprediksi Banyak Kasus Kekerasan Tersembunyi pada Anak dan Perempuan di DIY Selama Pandemi
DP3AP2 DIY mencatat angka laporan kasus kekerasan selama pandemi mengalami penurunan.
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Gaya Lufityanti
Sebab, ketika pandemi interaksi keluarga di rumah menjadi sangat intens, kondisi ekonomi kemungkinan menurun, dan anak belajar di rumah.
“Ketika permasalahan anak, ekonomi, hingga permasalahan secara psikis tertekan karena di rumah terus bisa memunculkan depresi, entah bagaimana tingkatannya, rendah, sedang, atau tinggi. Ini sangat bisa mengubah perilaku orang, potensi KDRT sangat tinggi. Tapi kita tidak tahu angkanya berapa karena mungkin tidak lapor,” paparnya.
Wredi mengakui, pendataan kasus kekerasan pada perempuan dan anak yang dilakukan di DIY selama pandemi tidak menggambarkan hal itu.
• Grab Bersama FPL Berkomitmen Cegah Kekerasan Seksual
“Ini perlu kita waspadai juga. Tidak terjadi lonjakan itu karena tidak lapor atau memang kejadiannya sedikit,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, selama pandemi lembaga-lembaga yang biasa menangani korban kekerasan banyak yang tidak berani membuka layanan.
Di awal Covid-19, kata dia, hampir semua lembaga takut menerima korban karena mereka tidak memiliki alat pelindung diri (APD).
“Maka kita kumpul di FPKK, kita rumuskan kriterianya. Lalu apa yang harus dilakukan oleh petugas, klien, terkait protokol kesehatan,” ungkapnya.
Meskipun demikian, lanjut Wredi, selama pandemi pusat pelayanan terpadu perempuan dan anak (P2TPA) Korban Kekerasan DIY yakni Rekso Dyah Utami (RDU) tetap selalu membuka pelayanan.
Sejak pengaduan hingga penanganan kasus, jelas Wredi, semua menerapkan protokol kesehatan.
Semisal, petugas di tempat pengaduan memakai APD dan menjaga jarak.
“Kalau korban ini tidak bisa pulang karena takut atau kemudian harus tinggal di shelter, ini juga harus melalui karantina dulu. Ruang rapat di RDU dijadikan tempat karantina 14 hari,” tambahnya.
• Kasus Kekerasan Anak di Bantul Tinggi
Di RDU pun terdapat para profesional, semisal psikolog, dokter, dan pengacara yang akan menangani korban sesuai tingkatan kasusnya.
“Yang bisa melapor semua bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak,” imbuh Wredi.
Dia menyampaikan, kepada kalangan perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, jangan malu atau takut untuk melapor.
Wredi menerangkan, adalah hak mereka untuk mendapat perlindungan.