Yogyakarta
Begini Kronologi Diskusi Daring CLS UGM yang Berujung Teror Pembunuhan
Guru Besar UII meminta untuk menyetop tindakan teror dan intimidasi terhadap aktivitas akademik di manapun itu berada.
Penulis: Yosef Leon Pinsker | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII), Ni'matul Huda menjelaskan bagaimana duduk perkara kronologi diskusi daring oleh Constitutional Law Society (CLS) mahasiswa FH UGM bertema 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' yang berujung teror dan intimidasi pembunuhan kepada dirinya.
Usai pelaporan di Markas Polda DIY pada Selasa (2/6/2020), Ni'matul yang didampingi oleh tim kuasa hukum dan Dekan FH UII, Abdul Jamil menyatakan bahwa, pada pekan pertama puasa lalu sejumlah mahasiswa CLS mendatangi dirinya untuk meminta menjadi narasumber bertema penundaan Pilkada serentak 2020, namun Ni'matul menolak karena merasa tidak kompeten membahas tema itu.
"Seminggu setelah itu mereka kontak lagi dan menawarkan tema impeachment (pemakzulan) dalam UUD 1945 dan saya setuju," kata Ni'matul.
• Tim Kuasa Hukum Guru Besar UII Lapor Ancaman Teror dan Pembunuhan ke Polda DIY
Panitia kemudian mengkonfirmasi waktu pelaksanaan dan meminta dirinya untuk memilih apakah diskusi dilaksanakan sebelum Lebaran atau setelahnya.
Ni'matul meminta diskusi dilaksanakan setelah Lebaran yakni pada 29 Mei 2020.
Setelah brosur acara diskusi selesai dirancang, panitia kembali mengirim kepada Ni'matul dan dirinya hanya mengoreksi tampilan foto yang terpajang dalam brosur itu karena letak fotonya ditampilkan dari samping.
"Soal tema diskusi saya tidak revisi karena itu urusan panitia,' urainya.
Dia juga meminta panitia untuk menambahkan informasi tentang hadiah buku bagi sejumlah penanya dalam diskusi itu.
Karena buku tulisannya memuat salah satu bab tentang persoalan yang membahas pemakzulan presiden dari kacamata hukum tata negara.
"Jadi tidak ada pembicaraan terkait dengan pak Jokowi dengan mahasiswa. Nah, saya tidak tahu ada kata-kata pandemi Covid-19 di dalamnya, saya juga tidak bereaksi karena komunitas itu adalah kelompok studi yang konsen dengan pembahasan itu dan di kampus kami juga ada, itu tidak ada masalah," imbuhnya.
Sebelum diskusi pun, disebut Ni'matul sudah ada reaksi terhadap pelaksanaan diskusi itu, namun dia tidak merespon.
• Tanggapan Polisi Soal Teror kepada Panitia dan Calon Narsum Diskusi CLS FH UGM
Namun, komentar miring terhadap rencana diskusi itu malah berimbas pada teror yang didapat oleh Ni'matul sendiri.
Teror awal datang pada Kamis pagi 28 Mei lalu.
Dirinya diancam dibunuh beserta beberapa anggota keluarga lain.
Selanjutnya, malam hari rumahnya didatanginya dengan orang yang tidak dikenal sekira pukul 22.00 WIB dengan menggedor sambil memanggil namanya.
"Jumat paginya mahasiswa saya sudah datang dan tanya ke Dukuh dan dia mengaku kalau ada Babinsa yang menelpon dia untuk meminta alamat saya. Setelah itu saya matikan semua alat komunikasi," jelasnya.
Ni'matul menjelaskan, pergantian judul diskusi yang semula 'Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' menjadi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' juga tidak melibatkan dirinya.
"Mereka mengkonfirmasi hanya soal impeachment saja dan kemudian judulnya menjadi seperti itu bukan dari saya," jelasnya.
• Polda DIY Akan Lakukan Penyelidikan Terkait Teror pada Diskusi yang Batal Digelar CLS
Ni'matul mengklaim, berdasarkan Term Of Reference (TOR) yang dikirimkan oleh panitia, pembahasan yang diminta sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan makar.
Dirinya hanya diminta untuk membahas pengertian pemakzulan, sejarahnya, bagaimana pemakzulan di Indonesia, serta pemakzulan setelah amandemen UUD 1945.
"Hanya itu tok. Jadi murni kegiatan mahasiswa, makanya saya mau karena kenal dengan mahasiswanya. Saya juga dikritik sama teman-teman kok mau, kayaknya ga mungkin mereka mau menjerumuskan saya," terang dia.
Ni'matul meminta untuk menyetop tindakan teror dan intimidasi terhadap aktivitas akademik di manapun itu berada.
Menurut dia, segala aktivitas di dunia akademis sama sekali tidak berkaitan dengan pretensi politik mana pun.
"Kita bisa menjadi besar itu karena adanya kritik dari dunia pendidikan. Jadi kalau seperti ini lantas siapa yang bisa jadi penyeimbang kalau ada kebijakan kekuasaan yang salah," ucap Ni'matul. (TRIBUNJOGJA.COM)