Cerita ABK Sampai di Yogyakarta dengan Berbagai Cara, Tujuannya Pulang ke Bandung
Agus sudah satu bulan penuh terkatung-katung di pelabuhan Tanjung Perak, Kota Surabaya. Kapal yang biasa membawanya melaut terjebak lockdown di Suraba
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Iwan Al Khasni
TRIBUNJOGJA.COM, Yogyakarta - Anak Buah Kapal asal Kecamatan Padalarang, Kabupaten Bandung Barat bernama Agus Siregar. Pria berusia 56 tahun ini hanya satu dari diantara puluhan atau bahkan ratusan ABK yang tak bisa melaut lantaran beberapa wilayah telah berlakukan lockdown.
Agus sudah satu bulan penuh terkatung-katung di pelabuhan Tanjung Perak, Kota Surabaya. Kapal yang biasa membawanya melaut terjebak lockdown di Surabaya dan sudah tidak lagi beroperasi.
Akhirnya, Agus pun memilih untuk pulang kampung. Namun, ia bingung lantaran bus jarak jauh sudah tidak beroperasi mulai April lalu.
Pria yang sudah puluhan tahun berprofesi sebagai ABK ini pun tak tahu, harus pulang menggunakan moda transportasi apa. Kapal bugis yang biasa membawanya ke perairan Kalimantan pun sudah tidak beroperasi dan menepi di Tanjung Perak mulai Maret lalu.
Yang ia butuhkan saat ini hanyalah bagaimana untuk sampai di Padalarang dengan selamat. Meski guratan wajah yang merindukan moment berkumpul untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarganya di Bandung Barat sana, tak bisa disembunyikan dari sorot matanya yang nanar.
Sudah tiga hari dua malam, Agus berjalan dari Surabaya menuju Yogyakarta. Rencananya memang ia ingin menempuh perjalanan melalui jalur Selatan, menuju Cilacap hingga ke Tasikmalaya.
Tak terhitung sudah berpuluh kilometer dirinya berjalan. Sesekali ia menghentikan langkahnya, untuk menepi ke masjid sekedar meminta bantuan makan kepada takmir masjid di jalur sepanjang jalur Surabaya-Jogja.
"Malam pertama saya bermalam di Jombang. Dari Surabaya numpang kendaraan truk. Karena kalau naik bus, saya tidak punya surat keterangan sehat. Sudahlah, pasrah saja sama Tuhan, nanti juga pasti sampai di rumah," katanya, saat dijumpai Tribunjogja.com di Jalan Mangkubumi, Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta.
Agus memang hendak menuju Stasiun di Yogyakarta. Ia bertekad untuk menumpang kereta barang menuju Bandung. Namun, niatnya sirna ketika memastikan ke Stasiun Tugu yang juga lengang tanpa aktivitas.
Biasanya, Agus memang dari Surabaya transit ke Yogyakarta. Ia baru akan melanjutkan perjalanan dengan bus atau kereta menuju Bandung.
Namun, untuk saat ini kondisi keuangannya benar-benar menipis. Ia mengaku kehabisan perbekalan untuk menuju Bandung.
Ia menceritakan, Jumat pagi dirinya mulai berangkat dari Surabaya. Pria yang mengalami gangguan penglihatan pada mata kirinya ini kemudian numpang jalan dengan truk barang yang melintas ke Jombang.
"Di Jombang saya istirahat satu malam. Karena kalau tengah malam kondisi haus sulit untuk mencari air, jadi saya putuskan untuk bermalam," imbuhnya.
Setelah itu, sejauh kurang lebih 15 kilometer ia tempuh dengan berjalan kaki menuju ke Sragen. Upaya untuk numpang kendaraan truk pun berkali-kali ia coba.
Namun, pria ini sadar jika dibeberapa kota sudah mulai berlakukan pemeriksaan surat-surat kesehatan para penumpang.
"Supir truk itu rata-rata pada takut kalau terkena sanksi. Karena saya tidak punya surat keterangan sehat, kalau ikut menumpang bisa masalah nanti," ungkapnya.
Sesekali, ia membuka masker yang mulai bercampur debu. Kusam, kotor dan penuh minyak. Mungkin karena terkena keringat selama perjalanan.
Namun, masker itu pun menjadi satu-satunya barang berharga yang menjamin kesehatan selama 72 jam perjalanan dari Surabaya sampai ke Yogyakarta kemarin.
"Uang sudah menipis. Lebih baik saya pakai untuk naik bus kalau sudah sampai di Cilacap atau masuk ke Tasik, tidak apa-apa di sini saya numpang kendaraan yang lewat," urainya.
Bapak dua anak ini kadang terdiam, lalu kembali bercerita mengenai pengalamannya selama hidup di tengah laut.
Sebagai ABK, hukum alam menjadi pegangan yang harus ia ingat-ingat. Pernah dia mengalami dua hari harus tetap berenang di perairan Jepara, lantaran kapal yang ia tunggangi bermasal.
"Waktu itu, kapal kami bocor dan hampir tenggelam. Kami turun ke laut untuk membetulkan. Sementara bantuan baru datang selang dua hari. Seluruh ABK harus turun dan kami bertahan ditengah laut, itu terjadi sekitar tahun 2017," kenangnya.
Kulitnya yang mulai keriput serta kondisi tubuh yang mulai ringkih tak menjadi persoalan baginya untuk sampai ke kampung halaman.
Ia menyadari, di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, semua lapisan masyarakat sama-sama mengalami kesusahan.
Jika harus disuruh mengingat, sepanjang perjalanan dalam ingatannya hanya sang isteri dan anak-anak di rumah.
Satu tas ransel berukuran sedang ia tenteng, rambutnya yang mulai rontok, gigi depannya yang mulai ompong menandakan tenaganya sudah tak sekuat 40 tahun silam.
"Ini sudah pekerjaan saya sejak muda. Kapal saya mengangkut kayu dari Kalimantan ke Surabaya," terang dia.
Sepanjang ruas jalan Jombang menuju Sragen, ia habiskan dengan keyakinan. Barangkali pria berdasar Batak-Bandung ini juga kenyang dengan keyakinan.
Karena modalnya untuk menempuh perjalanan Surabaya-Yogyakarta hanya seonggok keyakinan dan tekad untuk sampai ke rumah.
Selama perjalanan pun, Agus hanya mengandalkan pemberian orang yang kebetulan melintas dan membagi-bagikan makanan.
"Dipertigaan bangjo (traffic light) saya berhenti, di sana pasti ada tumpangan mobil pick up ya hanya dengan itu saya mengandalkan untuk sampai ke Jogja ini. Ada saja orang yang mengasih saya makanan," ungkap dia.
Malam kedua ia habiskan di Sragen, seperti malam sebelumnya, Agus pun mengaku hanya tidur di tempat seadanya, di emperan ruas jalan Sragen-Solo.
Lagi-lagi penolakan dari supir truk harus ia terima. Ia menceritakan, tawar menawar antara supir truk pun dilakoni. Namun, para supir tak ingin ambil risiko.
"Hanya mobil pick up saja yang bersedia membawa saya sampai ke Solo. Dari solo ke Jombor, saya juga numpang mobil pick up," ujar dia.
Ia pun sampai ke Jogja dengan selamat sekitar pukul setengah tiga sore. Saat ini, Agus hendak melanjutkan perjalanan menuju Kebumen dan menanti tumpangan untuk selanjutnya ke Cilacap dan terus ke Barat menuju Tasik.
"Tidak masalah, kehidupan di laut jauh lebih keras dibandingkan di darat. Jadi ini bukan menjadi masalah besar. Yang terpenting saya bisa sampai ke kampung halaman dengan selamat, entah kapan," pungkasnya. (hda)