Sultan HB X Bakal Terapkan PSBB Jika Masih Banyak Orang Tidak Disiplin dan Keluar Rumah

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengakui bahwa masih banyak masyarakat yang sulit menerapkan hidup disiplin di tengah pandemi.

Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Joko Widiyarso
TRIBUNJOGJA KURNIATUL HIDAYAH
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X 

"Kalau masyarakat nggak pernah mau tertib sesuai protokol, ya itu akan terjadi terus. Sebetulnya Covid-19 ini penyakit mengatasinya paling murah, tinggal di rumah wis itu aja. Tapi selama tidak pernah mengikuti itu, maunya sendiri. Tidak mendisiplinkan diri, selamanya nggak akan pernah selesai," bebernya.

Ia juga meminta, agar semua kegiatan yang mengundang kerumunan dihentikan dan masyarakat bisa mengontrol diri untuk tidak berkerumun.

"Saya mohon yang kumpul-kumpul pun suasananya belum kondusif. Kita mau mendisiplinkan diri punya kesadaran tapi kita nggak pernah punya kesadaran untuk itu. Tidak ada yang lain. Covid-19 ora (belum) ono obate," tutupnya.

Sesuai karakter DIY
Ahli Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Agus Heruanto Hadna, menyarankan agar Pemerintah Daerah DIY, perlu untuk mulai mempertimbangkan PSBB, yang sesuai dengan karakter DIY.

Pejalan kaki melintas di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (7/4/2020). Pemerintah telah resmi menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta dalam rangka percepatan penanganan COVID-19.
Pejalan kaki melintas di trotoar Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (7/4/2020). Pemerintah telah resmi menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta dalam rangka percepatan penanganan COVID-19. (ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)

“Karakternya adalah, bahwa desa, RW,dan RT lebih solid, partisipasi dan kepedulian masyarakat lebih tinggi, pengetahuan masyarakat yang lebih baik. Artinya, jika PSBB diterapkan, maka basisnya adalah komunitas,” terang Dr. Hadna, Kamis (14/5/2020).

Dr. Hadna, menyebutkan, kesadaran masyarakat di Yogyakarta dengan kearifan lokalnya, adalah alasan mengapa PSBB , jika diterapkan di Yogyakarta akan relatif berbeda dengan wilayah lain.

“Pikir saya, adalah model local wisdom yang selama ini dikembangkan di setiap wilayah dengan caranya masing-masing harus ditingkatkan dan dijaga. Yogyakarta, saya pikir memnuhi syarat itu,” imbuh Dr. Hadna.

Menyoal efektifitas penyekatan pemudik, Dr. Hadna, menambahkan, belum bisa diukur seberapa efektif penyekatan tersebut.

“Efektif dan tidaknya, masih perlu didalami. Tetapi, kalau kita melihat data yang ada saja, betapa susahnya menghalangi pemudik. Yang penting untuk dilakukan adalah kebijakan yang intesif untuk mengatur mudik, harus tetap dijalankan.” tambah Dr. Hadna, yang merupakan tim ahli dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, ini.

Belajar dari kasus Korea Selatan dan Wuhan, misalnya kasus baru muncul, justru setelah lockdown dilonggarkan.

“Belajar dari kasus itu, kalau beberapa analisis memperkirakan Jogja mencapai puncak, di bulan Juni pasca lebaran. Namun semestinya puncak-puncak itu diharapkan tidak terjadi. Dengan kata lain, Jogja harusnya terus landai, di bawah. Karena, masyarakatnya, relatif lebih melek pengetahuan,” terang Hadna.

Lebih lanjut, terkait masih adanya penambahan kasus positif, Hadna, menegaskan hal tersebut tidak bisa dihindarkan. Namun dapat ditangani dengan kebijakan yang tegas dari pemerintah daerah.

“Bahwa selama landai ini terjadi naik turun (dance), itu tidak bisa dihindarkan. Prinsipnya jika ingin efektif, pemerintahh harus tegas, dan masyarakat disipllin mematuhi aturan serta protokol kesehatan,” pungkas Dr. Hadna.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved