Yogyakarta
P2TPA KK Rekso Dyah Utami DIY: Pembatasan Sosial Ikut Picu Keretakan Keluarga
Ia mengungkapkan, ada kenaikan hingga 10 persen angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY, selama masa pandemi Covid-19.
Penulis: Miftahul Huda | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Miftahul Huda
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY di triwulan pertama sudah mencapai 50 kasus.
Angka tersebut diperkirakan akan terus bertambah.
Benarkah faktor ekonomi menjadi penyebab disorientasi sebuah keluarga, hingga berujung kekerasan?
Ketua pelaksana Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Korban Kekerasan (P2TPA KK) Sri Maryani mengatakan, sejauh ini kantor P2TPA KK Rekso Dyah Utami DIY mencatat, sejak Januari hingga April sudah ada 50 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Menurutnya, banyak dari kasus kekerasan pada perempuan dan anak tersebut didominasi karena faktor ekonomi sebuah keluarga.
Adanya pembatasan sosial akibat Covid-19, menurutnya memberikan dampak bagi sebagian keluarga.
• Menunda Mudik Demi Kesehatan Keluarga dan Lingkungan
"Pembatasan sosial, penutupan lapangan kerja, PHK, hingga pekerja non formal kesulitan mencari nafkah. Tentu akan memicu emosional seseorang. Akibatnya bisa terjadi ketidak harmonisan dari keluarga," katanya kepada Tribunjogja.com, Rabu (22/4/2020)
Ia mengungkapkan, ada kenaikan hingga 10 persen angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di DIY, selama masa pandemi Covid-19.
Kebanyakan faktor yang mempengaruhi, lanjut dia, adalah himpitan ekonomi yang menimbulkan salah persepsi dari keluarga.
"Kuncinya agar tetap harmonis bagaimana? Pendekatan spiritual menjadi dasar utama. Selain itu, komunikasi yang baik juga sangat diperlukan di masa sulit seperti saat ini," terang dia.
Ia merinci, di Januari 2020 ada P2TPA KK mencatat ada sebanyak 18 kasus kekerasan dengan rincian 13 kasus merupakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Tiga kasus diantaranya korban Kekerasan Terhadap Anak (KTA) dan dua sisanya merupakan korban Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP).
• Tuntut Pelaku KDRT Dihukum Maksimal, JPY Gelar Aksi Damai di PN Bantul
Sementara di bulan Februari kemarin, ada 17 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dengan rincian, 16 merupakan korban KDRT dan satu sisanya adalah korban KTP.
Bulan Maret hingga pertengahan April kemarin, angka kasus menjadi 15 Kasus kekerasan yang ditangani P2TPA KK Rekso Dyah Utami.
Dengan rincian, di bulan Maret ada lima kasus KDRT, satu korban KTA dan empat lainnya korban KTP.
Sementara hingga pertengahan April kemarin, terjadi dua kasus KDRT, satu Korban KTA dan dua sisanya korban KTP.
"Itu kita kalau bicara kasus saja. Ada kenaikan 10 persen jika dibandingkan tahun lalu. Untuk yang konsultasi juga banyak. Padahal masih triwulan pertama," tegasnya.
Dari jumlah tersebut, kasus yang sudah tuntas proses hukumnya ada 30 kasus, sementara yang masih dalam proses hukum ada dua kasus, dan yang berada si shalter sebanyak tiga orang.
"Sementara sisanya masih jalani konsultasi dan pendampingan ringan," sambung dia.
Sementara di tahun 2019 lalu, P2TPA KK mencatat selama satu tahun ada 155 kasus yang sudah ditangani.
Namun, menurutnya jumlah kasus tertinggi justru berada di triwulan kedua dan ketiga.
"Karena kebutuhan menjelang akhir tahun dan sebagainya. Banyak masyarakat yang terhimpit secara ekonomi. Dampaknya sangat besar," imbuhnya.
Kota Yogyakarta Tertinggi Angka Kekerasan Perempuan dan Anak
Dari jumlah 155 kasus yang ditangani P2TPA KK Dyah Rekso Utami sepanjang tahun 2019, Yogyakarta paling banyak terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan jumlah 56 kasus.
Menyusul Kabupaten Bantul sebanyak 41 kasus, Kabupaten Sleman 41 kasus, serta Gunung Kidul ada enam orang dan di Kulon Progo ada tiga orang, serta delapan sisanya dilakukan oleh warga luar DIY.
Mengapa di Yogyakarta sering terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak?
Sri Maryani mengatakan, kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat beragam.
Bisa dengan verbal hingga kekerasan fisik seperti pelecehan seksual hingga tindakan pemerkosaan.
"Jogja ini memang banyak TKP nya. Kami menangani sesuai TKP. Kenapa bisa begitu, karena mobilitas ekonomi tinggi, kebutuhan hidup tinggi, sehingga memicu tindak kekerasan. Apalagi perempuan dan anak ini sangat rentan," tegasnya.
Pelaku Kekerasan dari Semua Kalangan
Sri Maryani menjelaskan, pelaku kekerasan perempuan dan anak khususnya KDRT, bukan dilakukan oleh kalangan Ekonimi menengah ke bawah saja.
Ia mengatakan, kalangan ekonomi menengah ke atas, bahkan yang memiliki gelar dari pendidikan perguruan tinggi pun menjadi pelaku kekerasan perempuan dan anak.
Untuk tahun 2020 kali ini misalnya, Sri mencatat dari 50 kasus, 15 diantaranya merupakan golongan yang terdidik.
"Tidak sampai separuhnya. Ya sekitra itu, artinya siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan. Pencegahannya ya dengan memperkuat mental dan diri sendiri," katanya.
Ia melanjutkan, dampak adanya kekerasan terhadap perempuan dan anak menurutnya sangat berbahaya.
• GKR Hemas Soroti Adanya Tindak Kekerasan Jalanan dan Paham Radikalisme pada Anak SMA dan SMK
Pertama, lanjut dia, dampak psikis korban menjadi terganggu.
Butuh waktu sekitar tiga bulan masa pemulihan. Itu pun tergantung seberapa parah tindak kekerasan yang dialami.
Perubahan perilaku juga akan dialami oleh si anak, jika tindak kekerasan dilakukan pada rumah tangga.
Yang kedua, menurutnya terjadi keretakan hubungan keluarga.
Serta jika yang mengalami merupakan korban asusila, maka pengalaman itu akan sulit dihapus dari ingatan.
"Dan itu sangat luar biasa. Ketika mencoba diungkapkan, diceritkan kembali pengalaman itu, para korban ini seperti mengalami hal yang kedua kalinya. Makanya butuh waktu lama," tegas dia.
Sri mengimbau supaya warga masyarakat tetap berpikir positif dan saling mendorong satu sama lain.
Apalagi bagi seluruh keluarga, supaya tetap menjaga dan membentengi diri dengan pikiran positif. (TRIBUNJOGJA.COM)