Update Corona di DI Yogyakarta
Herd Immunity Alami Jalan Berantas Covid-19, Perlu Dibarengi Pembatasan Maksimal
Dosen dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dr. Muhamad S. Hakim, dalam Webinar yang diselenggarakan Kamis (2/
Penulis: Maruti Asmaul Husna | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja, Maruti Asmaul Husna
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Warganet akhir-akhir ini banyak memperbincangkan perihal herd immnunity (HI) atau kekebalan komunitas.
Bahkan, istilah herd immunity naik dalam pencarian Google dan menjadi tren pada pekan terakhir Maret 2020.
Dilansir dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, HI atau kekebalan komunitas adalah keadaan di mana sebagian besar masyarakat terlindungi atau kebal terhadap penularan penyakit tertentu.
Secara garis besar, HI dapat tercipta apabila virus terus menyebar sehingga banyak orang terinfeksi dan ketika sebagiannya sembuh, banyak orang akan kebal. Dengan begitu wabah akan hilang dengan sendirinya karena virus sulit menemukan host atau inang.
Dosen dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, dr. Muhamad S. Hakim, dalam Webinar yang diselenggarakan Kamis (2/4/2020) menjelaskan, HI adalah konsep yang ada dalam vaksinologi.
"Tujuannya untuk mencapai berapa proporsi masyarakat minimal yang harus mendapat vaksin agar infeksi penyakit itu bisa dikendalikan transmisinya," ujarnya.
• Covid-19 Belum Mereda, Penutupan Sementara Obyek Wisata Bantul Diperpanjang
Dia melanjutkan, konsep dasar HI adalah resistensi yang ada dalam sebuah komunitas atau sekeompok orang terhadap penyakit infeksi tertentu. Baik itu disebabkan virus atau bakteri.
"Kalau kita ingin mengeradikasi suatu penyakit infeksi dengan vaksinasi, kita tidak perlu memvaksinasi 100 persen populasi. Akan tetapi cukup melakukan vaksinasi pada level tertentu yang pada level ini sudah cukup menimbulkan resistensi atau kekebalan dalam masyarakat tersebut," tegasnya.
Orang yang sengaja dipilih untuk tidak mendapat vaksinasi adalah golongan yang akan mengalami kontraindikasi dengan vaksin, misalnya orang-orang yang sedang mengonsumsi imunosupresan (obat untuk mencegah atau mengurangi reaksi imun tubuh).
Muhamad menambahkan, orang yang tidak mendapat vaksin juga akan memeroleh manfaat.
"Namanya indirect effect (efek tidak langsung). Karena penularan atau transmisi penyakit akan terblok. Orang yang tidak memiliki kekebalan akan ikut terproteksi," tukasnya.
Meskipun demikian, lanjut Muhamad, hingga kini di dunia belum ditemukan vaksin virus SARS-CoV-2 atau virus penyakit Covid-19. Maka, HI lewat jalan vaksinasi belum dapat dilakukan.
"Herd immunity bisa didapatkan lewat dua cara. Pertama, herd immunity dengan vaksinasi. Kedua, herd immunity alami dan ini memiliki risiko yang mengerikan bila tidak dibarengi pembatasan maksimal," tandasnya.
Dalam kasus Covid-19, ujarnya, basic reproduction number atau angka reproduksi dasar dari virus SARS-CoV-2 yang disebut Ro adalah 3.
Artinya satu orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 dapat menularkan virus kepada tiga orang lainnya. Semakin tinggi Ro semakin tinggi penyebaran.
Dengan Ro ini, dapat dihitung proporsi populasi yang harus kebal atau vaccination coverage (VC). Dengan Ro 3, VC atau proporsi populasi yang harus kebal adalah 80 persen.
• Jenis Makanan Sumber Vitamin E yang Bermanfaat untuk Tingkatkan Imunitas Tubuh
"Maka, jika menggunakan angka penduduk Indonesia katakanlah yang harus terinfeksi berjumlah 200 juta orang. Jika angka kematian kasus ini 5 persen, maka ada 10 juta orang meninggal," tandas Muhamad.
"Belum lagi 20 persen dari yang terinfeksi mengalami gejala berat sehingga perlu mendapat layanan kesehatan dalam waktu yang bersamaan. Ini bisa menimbulkan angka kematian yang lebih besar lagi. Ini hanya terjadi jika kita tidak melakukan intervensi pembatasan apa pun," sambungnya.
Namun, hal itu bisa dihindari apabila suatu populasi melakukan mitigasi atau pencegahan. "Dengan adanya mitigasi kita sebenarnya tidak memutus mata rantai penularan. Namun, penularan yang terjadi tidak sebanyak kalau kita tidak melakukan apa pun," bebernya.
Dia melanjutkan, mitigasi dilakukan untuk menurunkan angka Ro. Sebab, Ro sangat ditentukan oleh transmisi infeksi antar individu, jumlah kontak infeksi potensial, dan durasi seseorang menginfeksi orang lain.
"Hal itu bisa dicegah dengan mencuci tangan, pembatasan fisik, isolasi, dan karantina," ungkapnya.
Muhamad menambahkan, bisa saja kita melakukan kontrol mitigasi dalam waktu lama sampai Ro yang semula 3 berkurang menjadi <1.
"Itu hanya terjadi jika kita melakukan pembatasan maksimal atau dikenal dengan lock down. Baik targeted lock down seperti di Belanda atau pun random lock down seperti di Wuhan. Atau kita memiliki cara sendiri," ungkapnya.
Lockdown akan menekan puncak epidemi dalam waktu lebih lama. Namun, lanjutnya, kasus lebih rendah dan bisa tertangani dalam sistem layanan kesehatan yang tersedia.
"Dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diterapkan oleh pemerintah saat ini, pada waktu tertentu ini sudah tepat, tapi masih banyak hal yang harus dilakukan," pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)