Yogyakarta
Stok ARV untuk Pengobatan HIV/AIDS di DIY Menipis
Perlu diketahui bahwa Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) membutuhkan obat ini untuk mengendalikan perkembangan virus agar tidak semakin merusak sistem kekeb
Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Ari Nugroho
Laporan Reporter Tribun Jogja Kurniatul Hidayah
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Jaringan Indonesia Positif (JIP) DIY membagikan informasi ketersedian stok antiretroviral (ARV) di DIY menipis.
Perlu diketahui bahwa Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) membutuhkan obat ini untuk mengendalikan perkembangan virus agar tidak semakin merusak sistem kekebalan tubuh penderitanya.
Sekretaris Daerah JIP DIY Magdalena mengatakan bahwa Truvada yang menjadi bagian terapi ARV telah lama kosong di DIY, lebih tepatnya sejak 6 bulan yang lalu.
Truvada terdiri dari beberapa regimen, dan Magda mengatakan bahwa ketika pasien diganti dengan regimen yang lain itu menyisakan persoalan lain.
• Kekhawatiran Peneliti Harvard Soal Tidak Adanya Kasus Virus Corona di Indonesia
"Itu tidak mudah karena penerimaan obat baru secara psikis sangat diperlukan," ujarnya pada Tribun Jogja, Kamis (5/3).
Tidak hanya DIY, Magda juga membeberkan bahwa di daerah lain di Indonesia stok ARV menipis bahkan kosong.
Berdasarkan data per 27 Februari 2020, jenis ARV Truvada, Evafiren 200mg, Tenofovir kosong di Kota Depok Jawa Barat.
Hal serupa juga terjadi di Jakarta Selatan, Deli Serdang, Malang, Bogor, Bekasi, Jakarta Utara dan sebagainya dengan berbagai jenis ARV yang terbatas hingga kosong.
"Kalau pusat saja kosong, bagaimana kami di daerah. Minta kepada siapa," ucapnya.
Tidak tinggal diam, Magda mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan advokasi ke tingkat nasional terkait kesinambungan stok ARV dan semua regimennya.
Ia pun mengaku beruntung komunikasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY sangat baik sehingga ketika stok habis, ia bisa dengan mudah berkoordinasi.
"Namun daerah menunggu kiriman dari pusat," bebernya.
Distribusi kasus HIV AIDS di DIY dari tahun 1993-2019 berdasarkan tempat tinggal yakni
Kota Yogyakarta 1.335 kasus, Bantul 1.191 kasus, Kulonprogo 294 kasus, Gunungkidul 445 kasus, Sleman 1.247 kasus, luar DIY 636 kasus, tak diketahui 166 kasus.
Selanjutnya, berdasarkan usia paling tinggi berada di usia 30-30 tahun dengan 555 kasus, 20-29 tahun dengan 443 kasus, 40-49 tahun dengan 339 kasus, dan 50-59 tahun dengan 196 kasus.
