Wali Kota Yogya : Banyak Pondokan dan Indekos yang Berubah jadi VHO Tak Berizin
Wali Kota Yogya : Banyak Pondokan dan Indekos yang Berubah jadi VHO Tanpa Kelengkapan Izin
Penulis: Yosef Leon Pinsker | Editor: Hari Susmayanti
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta menilai maraknya keberadaan VHO (Virtual Hotel Operation) di kawasan setempat tidak serta merta ikut mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD).
Pasalnya, ada dugaan bahwa VHO tidak membayarkan kewajibannya berupa pajak kepada Pemkot.
Selain itu, VHO juga dianggap abai persoalan IMB serta tidak memberlakukan standarisasi yang jelas terhadap keamanan konsumen.
"Kami akan meregulasi hal itu untuk melindungi konsumen. Dasarnya nanti IMB," kata Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, Senin (13/1/2020).
Haryadi mengatakan, tentunya perlu regulasi yang jelas untuk mengatur pengalihan fungsi bangunan yang semula digunakan untuk pondokan atau indekos menjadi hunian hotel.
Selama ini, ada dugaan pemilik indekos dan juga pondokan mengalihkan fungsi bangunan menjadi hunian hotel namun tidak mengurus perizinan sesuai dengan fungsinya.
"Aturannya memang tidak seperti itu. Kalau itu tidak ada aturannya akan kita buat, terutama buat konsumen," imbuhnya.
Menurut Haryadi, kadangkala para tamu VHO bisa tidak melakukan laporan saat masuk maupun keluar.
• PHRI Targetkan Okupansi Hotel Naik 10 Persen pada Tahun 2020
• Agenda Jogja : Rangkaian Pertunjukan Malioboro Selasa Wage
Sehingga jika terdapat kejadian yang tidak diinginkan bisa berdampak pada konsumen itu sendiri.
Haryadi berharap VHO bisa ikut disamakan dengan unit bisnis hotel lainnya, sehingga bisa punya operasional sistem yang jelas dan dapat mendongkrak PAD Kota Yogya.
Sementara, Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo mengatakan, pihaknya belum punya data yang valid berapa jumlah VHO yang telah beroperasi di seluruh DIY.
Pihaknya pun akan membentuk Pokja yang bakal membuat regulasi dan juga aturan lainnya bagi VHO.
Deddy menyatakan, keberadaan VHO juga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, karena memasang harga yang tidak lagi sesuai dan menurut dia sudah berbentuk aji mumpung.
Hal itu pun berdampak pada penurunan tamu hingga sebesar 5-10 persen kepada hotel.
"Kalau low season mereka bisa pasang Rp90 ribu tapi kalau high season bisa sampai Rp1 juta an," kata Deddy.