Yogyakarta
Pengamat Perburuhan Sebut Perlu Adanya Perubahan dalam Formulasi UMP
Penggunaan PP 78 tahun 2015 sebagai salah satu dasar acuan untuk menentukan upah minimum provinsi (UMP) masih menuai pro dan kontra.
Penulis: Agung Ismiyanto | Editor: Gaya Lufityanti
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pengamat perburuhan menilai perlunya perubahan dalam membuat formulasi upah.
Penggunaan PP 78 tahun 2015 sebagai salah satu dasar acuan untuk menentukan upah minimum provinsi (UMP) ini juga masih pro dan kontra.
“Sebenarnya PP 78/2015 ini kan saat diketok masih pro kontra juga dan Presiden Jokowi juga pernah berjanji mau merevisi,” ujar pengamat perburuhan, Hempri Suyatna kepada Tribunjogja.com, Jumat (1/11/2019).
Hempri menjelaskan, dalam PP tersebut juga hanya tertulis 60 indikator Kebutuhan Hidup Layak (KHL) padahal tuntutan buruh lebih dari itu.
• Tutorial Tampil Kece dengan Makeup Sachet yang Praktis dan Terjangkau
Sehingga terjadi kesenjangan upah yang diterima buruh dengan KHL.
“Jadi ke depan saya kira harus ada beberapa perubahan dalam membuat formulasi upah,” ujarnya.
Dalam membuat formulasi ini juga yang paling utama adalah melibatkan kembali buruh dalam perundingan.
Kunci utama harus ada negoisasi buruh dan pengusaha.
Dan, fungsi pemerintah untuk memfasilitasi pertemuan ini.
• UMP dan UMK se-DIY Telah Disepakati, Ini Besarannya
Upah Minimum Sektoral
Hempri juga menyetujui pemberlakuan upah sektoral di Yogyakarta ini.
Apalagi, Yogya adalah kota jasa, wisata dan bukan kota industri. Hal inilah yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY, Andung Prihadi Santosa menjelaskan pihaknya pun berkomitmen akan ada perubahan signifikan pada UMP dan UMK tahun 2021.
Jika nantinya orientasinya adalah pada pengurangan angka kemiskinan.
