Kulon Progo

Warga Banaran Kembali Aksi Tolak Penambangan Pasir

Selain terindikasi ada pelanggaran aturan spesifikasi mesin, warga menilai banyak di antara penambang yang tak memiliki izin alias ilegal.

Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Singgih Wahyu
Warga Banaran, Galur kembali berunjuk rasa terkait kegiatan penambangan pasir di Sungai Progo yang telah merusak lingkungannya, termasuk jalan. 

"Kalau tidak diportal, mereka akan terus melintas dan jalan semakin rusak. Ada kesan pembiaran oleh pemerintah sehingga tidak ada upaya perbaikan jalan. Setelah kami menurunkan massa baru direspon. Kami minta ini ditinjau ulang,"kata Agung.

Camat Galur, Latnyana mengatakan pihaknya sudah mengusulkan kepada pemerintah provinsi untuk menertibkan penambang ilegal mengingat aktivitas pertambangan kini menjadi wewenang Pemerintah DIY.

Demikian juga soal hilir mudik armada angkut pasir yang melewati jalan kabupaten tersebut.

Ia sudah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum (DPU) untuk menangani jalan yang rusak dan diharapkan bisa segera ada tindakan.

Menurutnya, jalan yang saat ini rusak sebetulnya bukan jalur armada pertambangan.

Jalur khusus yang diperuntukkan justru ada di sisi utara, sekitar Balai Desa Banaran dan berstatus jalan kabupaten.

Ini menurutnya sudah menjadi kesepakatan dengan DPU ESDM DIY.

Hanya saja, truk pengangkut pasir lebih sering melalui jalur jalan di wilayah Pedukuhan Bleberan dan Sawahan untuk memangkas jarak.

"Seharusnya tidak lewat sini melainkan lewat bawah (jalur di badan sungai) lalu masuk ke jalan yang sudah ditentukan. Kami tidak punya kewenangan apa-apa terkait ini namun sudah kami sampaikan ke pemerintah provinsi," kata Latnyana.

Pendapat lain dikemukakan Kelompok Penambang Progo (KPP) yang menaungi para penambang pasir dengan lisensi IPR di aliran Sungai Progo dari Sleman, Kulon Progo, hingga Bantul.

Termasuk, para penambang pasir dengan mesin sedot.

Organisasi ini menilai protes yang diajukan warga Banaran terlalu menyudutkan para penambang IPR dan sarat kepentingan tertentu.

Padahal, izin penambangan yang saat ini beroperasi di wilayah Galur bukan hanya IPR melainkan juga Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan ini dimiliki beberapa perusahaan tambang.

"Di sini sudah lebih dulu ada WIUP ketimbang IPR. Tidak fair kalau kesalahan hanya ditimpakan ke penambang IPR karena kami belum ada setahun beroperasi dan jalan itu bukan hanya kami yang melewati. Yang saya khawatirkan, aksi ini tidak murni melainkan ditumpangi kepentingan bisnis tertentu," jelas Ketua KPP, Yunianto.

Ia menegaskan bahwa dokumen Upaya Kelola/Pantau Lingkungan (UKL/UPL) sudah dikantongi para penambang IPR sehingga izinnya bisa diterbitkan Pemerintah DIY pada 1 Februari 2019 lalu.

Sumber: Tribun Jogja
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved