Pendidikan
Maria Clara Yubilea Sidharta, Sarjana Termuda UNY yang Jenius Meski Berkebutuhan Khusus
Dengan keterbatasannya, ia bisa lulus di usia muda dengan predikat cumlaude dengan IPK 3,76.
Penulis: Santo Ari | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM - Saat mahasiswa pada umumnya menginjakan kaki di kampus pada umur 19 tahun, namun Maria Clara Yubilea Sidharta, mahasiswi Pendidikan Bahasa Jerman 2015 UNY justru lulus dan mendapatkan gelar Sarjana di usia 19 tahun.
Siapa sangka, perempuan kelahiran 13 Mei 2000 ini adalah anak berkebutuhan khusus.
Dengan keterbatasannya, ia bisa lulus di usia muda dengan predikat cumlaude dengan IPK 3,76.
Ia diwisuda bersama ibunya, Patricia yang mengambil S2 Pendidikan Luar Biasa, pada Sabtu (31/8/2019).
Lala, sapaan akrabnya, bukanlah anak dan mahasiswa biasa.
• Palette X Wardah: Tutorial Make Up ke Kondangan yang Antiribet
Ia divonis oleh dokter sebagai anak berkebutuhan khusus 'Gifted'.
Dengan kondisi ini Lala memperoleh tantangan berupa kesulitan dalam berkomunikasi.
Namun tantangan itu juga hadir dengan berkah tersendiri.
Yaitu menjadi anak genius dengan IQ 145.
Hal tersebut ia buktikan lewat kebolehan mewakili UNY dalam pertukaran pelajar ke Jerman dan menulis buku terkait anak berkebutuhan khusus.
"Mama sering bilang, vonis (sebagai gifted) dan Tes IQ itulah awal musibah," ujarnya pada Tribunjogja.com.
Hal itu disebabkan, semakin tinggi IQ umumnya menambah masalah komunikasi.
Namun dengan bimbingan sang ibu, Patricia Lestari Taslim yang mengambil S2 Pendidikan Luar Biasa di UNY demi memperoleh pengetahuan tentang cara mendidik sang anak, Lala berhasil menyabet prestasi di dalam maupun luar kelas.
"Tapi ternyata dari penemuan dan bimbingan mama, musibah ini punya banyak potensi. Potensi yang Puji Tuhan dapat Lala maksimalkan,” ungkap Lala.
• Mahasiswa UNY Ciptakan Sepatu Kesehatan Bermotif Budaya
Lebih jauh diceritakan tentang kehidupan anaknya, Patricia menceritakan bahwa dirinya baru mengetahui bahwa Lala adalah anak berkebutuhan khusus saat di SD.
Mulanya, Lala sulit diatur oleh guru dan disebut sebagai trouble maker.
Predikat nakal tersebut membuat Lala sampai harus berpindah-pindah sekolah sejak kelas 2 SD.
Tercatat hingga akhir jenjang SD, Lala sudah lima kali pindah sekolah.
Patricia mengaku, pada saat itu ia belum paham bahwa apa yang dihadapi putri semata wayangnya tersebut adalah kebutuhan khusus.
"Yang saya tahu (saat itu), Lala itu trouble maker. Saya memaksakan dia harus sekolah umum dan sekolah negeri. Namanya juga ibu, saya jujur saja waktu itu otoriter ingin anak saya sekolah. Apalagi saya mantan guru, dan suami saya berprofesi sebagai dosen," kenangnya.
Hingga saat menjelang Ujan Nasional, Lala tidak mau lagi masuk sekolah karena merasa tidak nyaman dengan kegiatan belajar di sekolah dalam mempersiapkan ujian.
Namun setelah dipaksa, Lala akhirnya berkenan untuk menuntaskan Ujian Nasional sebagai kewajibannya guna lulus dari sekolah tersebut.
• KKN UNY Kembangkan Desa Blaburan Magelang sebagai Kampung Wisata Air
Ajaibnya dengan terpaksa dan tanpa persiapan ujian, Lala lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Pemahaman Patricia akan kondisi anaknya pun mulai mulai terbuka ketika Lala mogok sekolah menjelang Ujian Nasional namun justru mendapatkan nilai yang sangat baik.
"Nilainya bagus-bagus. Saat itulah saya mulai memahami, bahwa kita harus ekstra tenaga mendampingi karena kebutuhan dia berbeda," jelasnya.
Ia pun mulai berkonsultasi ke dokter dan disusul dengan tes IQ pada 2013.
Saat pertama kali melakukan tes, IQ yang dimiliki Lala pada saat itu 131.
Angka itu selalu naik setiap Lala melakukan tes dua tahun sekali.
Hingga pada tahun 2017 silam Lala mencatatkan nilai 145 dalam tes IQ.
Patricia melanjutkan, setelah mengetahui bahwa Lala adalah anak berkebutuhan khusus, maka orang tua menjatuhkan pilihan agar Lala dapat belajar dengan sistem homeschooling.
Dengan bimbingan Patricia, Lala belajar menggunakan buku bekas milik kakak sepupunya.
Meski bersekolah di rumah, Lala memiliki banyak teman. Ia aktif di berbagai komunitas seperti Komunitas Sesama Homeschoolers, komunitas menari, dan komunitas musik.
Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) menjadi tempatnya menghabiskan waktu bersama kawan-kawan.
• Garuda UNY Team Targetkan Bawa Pulang Trofi dalam Formula SAE Japan 2019
Karena cepat belajar, Lala pun berhasil menuntaskan ujian Kejar Paket B (setara SMP) dan Kejar Paket C (setara SMA) di tahun 2013 dan 2015 dengan nilai ujian yang juga bagus.
Di usia belia, Lala bahkan telah menguasai Bahasa Inggris, Perancis, dan Jepang.
Ia belajar bahasa dari percakapan sehari-hari dan berselancar di dunia maya.
Hingga pada akhirnya, Lala meminta ke orang tua untuk berkuliah dan kembali bergabung dengan teman-temannya yang tidak berkebutuhan khusus.
Lala menceritakan, pertimbangan memilih jurusan bahasa adalah buah saran dari tes IQ yang telah ia lalui sebelumnya.
"Awalnya pengen Sastra Rusia. Karena masih terlalu kecil jadi belum boleh keluar kota. Di Jogja ini yang ada selain bahasa Indonesia dan Inggris kan adanya Prancis, Jepang, Jerman. Ternyata diterima di bahasa Jerman," ungkap Lala.
Lalu sudah menjadi mahasiswa UNY pada usia 15 tahun.
Selama perkuliahan, Lala tidak mendapatkan kendala dalam proses belajarnya.
Dosen dan teman-teman Lala sangat suportif membantunya belajar.
Bahkan Lala kerap dijadikan rebutan apabila terdapat tugas beregu ataupun dalam pembentukan kelompok.
"Jadi lingkungan di UNY inklusif. Ada dua alasan sebenarnya. Pertama karena Lala masih imut, anak usia 15 tahun, dan kedua karena Lala cepat belajarnya. Setahun belajar Jerman, dia sudah fasih," beber Patricia.
• UNY Raih Peringkat ke-16 Klasterisasi Perguruan Tinggi di Indonesia 2019
Ibu Memutuskan Kuliah Lagi
Sejak awal perkuliahan, Patricia pun selalu memberi dukungan kepada anaknya, satu di antaranya adalah dengan mengantar jemput Lala.
Maklum saja ujarnya, saat awal masuk kuliah Lala masih usia 15 tahun.
Namun setahun berjalan, Patricia merasa bosan jika hanya datang ke UNY untuk antar jemput.
Terlebih lagi, kebutuhan khusus Lala terus berkembang seiring bertambahnya usia.
Maka dari itu ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah.
Akhirnya setahun setelah Lala mulai kuliah, Patricia mendaftar dan dinyatakan diterima di S2 Pendidikan Luar Biasa UNY angkatan 2016.
Pada saat itu, Patricia merupakan satu-satunya mahasiswa yang tidak berlatar belakang pendidikan luar biasa di jenjang S1 nya.
Ia sendiri memiliki latar belakang guru seni musik.
"Saya merasa tidak cukup bekal untuk membantu Lala. Maka seizin suami, saya sekolah lagi agar punya ilmu yang bermanfaat dalam mendidik Lala ataupun anak-anak gifted lainnya," ceritanya.
• Dishub Sleman Berencana Pasang Lampu APILL di Area Simpang Lima Kampus UNY
Patricia menceritakan bahwa perjalanannya menempuh studi tidak mudah.
Beberapa kolega menjadikannya bahan bercanda.
Ia dianggap hendak menjadikan putrinya sebagai kelinci percobaan atas teori Pendidikan Luar Biasa yang diperolehnya di dalam ruang kuliah.
Namun Patricia tak bergeming dengan tuduhan tersebut.
Bahkan Patricia semakin berusaha dengan mengejar ketertinggalan ilmu dengan menumpang belajar di SLB Marganingsih Tajem.
Di sana ia memperoleh teori terkait pendidikan luar biasa sekaligus mempraktikkannya secara langsung.
Hingga pada akhirnya pada 13 Mei 2019, tesis Patricia telah disetujui oleh dosen pembimbing.
Ia pun bisa diwisuda pada Juni 2019 kemarin.
Namun masih ada ganjalan di hatinya.
Ia merasa tugasnya di kampus belum selesai.
Hal itu dikarenakan Lala saat itu juga sedang menuntaskan bab-bab terakhir dalam skripsinya.
Akhirnya Patricia memutuskan untuk berkirim surat kepada wisuda kepada Rektor dan Direktur Pascasarjana UNY.
Isinya sederhana yakni meminta Patricia diizinkan untuk wisuda Agustus.
"Saya punya keyakinan kalau tidak lama lagi Lala akan wisuda. Toh tinggal bab akhir. Sambil menunggu Lala, saya bisa cari ilmu lagi sekaligus antar jemput," ucapnya.
• Rektor UNY Posting Cerita Tentang Keangkeran Rumah Dinasnya, Endingnya Tetap Bikin Ngakak
Tebakannya tak meleset, pada 31 Juli 2019 kemarin Lala menuntaskan yudisium skripsinya.
Ibu dan anak ini pun mengenakan toga bersamaan dalam wisuda UNY pada Sabtu (31/8/2019).
Tak berhenti di sini saja, selepas mendapatkan gelar sarjananya, Lala berencana melamar beasiswa tentang pendidikan khusus atau psikologi di Amerika.
Selain itu, Lala bersama Patricia dan komunitas orang tua anak gifted di Yogyakarta juga hendak merilis buku bunga rampai bertajuk 'Menyongsong Pagi'.
Buku ini mengisahkan best practice pengalaman mengasuh dan mengalami sendiri kehidupan sebagai anak gifted.
Lala menjadi satu-satunya anak gifted yang ikut menulis buku tersebut, sekaligus sebagai penulis yang termuda.
Patricia dan Lala berharap pengalaman sekaligus ilmu mereka terkait anak berkebutuhan khusus dapat membantu masyarakat luas, sehingga pendidikan inklusif dapat dirasakan lebih banyak lagi masyarakat.
• Mahasiswa UNY Kembangkan Topeng Panji Batik Jadi Tas Ransel Kulit
"Saya tahu, banyak orang tua di luar sana yang bingung anak berkebutuhan khusus ini diapakan. Tidak banyak yang seberuntung kami mengenal ilmu pendidikan luar biasa di UNY. Kami ingin ilmu ini membumi," tutup Patricia.
Sedangkan dalam kesempatan itu Lala juga berharap agar anak gifted di luar sana dapat dukungan dari keluarga dan memaksimalkan potensinya.
"Akademik itu penting tapi passion itu juga penting. Jadi harus ballance," tegasnya.
Sementara itu Rektor UNY Sutrisna Wibawa turut mengapresiasi atas diwisudanya Lala sebagai anak berkebutuhan khusus namun berprestasi.
Sutrisna menekankan bahwa UNY akan dengan senang hati memfasilitasi anak berkebutuhan khusus agar dapat menempuh pendidikan perkuliahan.
"Alhamdulillah UNY meluluskan mahasiswi Clara yang menguasai empat bahasa asing, Jerman, Perancis, Jepang, dan Inggris. IP 3,76. Anak ini luar biasa dengan keterbatasannya bisa berprestasi," ungkapnya. (*)