Nasib Rumah Gadang, Pusaka Adat yang Kini Tak Lagi Sebesar Namanya

Rumah gadang termasuk dalam harta pusaka tinggi yang diwariskan secara matrilineal, karena diperuntukkan hanya untuk perempuan

Editor: iwanoganapriansyah
NGI/Muhammad Alzaki Tristi
Rumah gadang Datuk Maajo Basa yang ditinggalkan penghuninya merantau. Rumah gadang kini banyak yang ditinggalkan, terbengkalai, dan mengalami kerusakan. 

Kedua, ‘Gadih gadang indak balaki’, perempuan tua yang belum bersuami karena terhambat dana untuk prosesi pernikahan.

Ketiga, ‘Mambangkik batang tarandam’, membutuhkan dana untuk mengadakan perhelatan pengangkatan penghulu dalam kaum.

Keempat, ‘Rumah gadang katirisan’ memperbaiki atau membangun kembali rumah gadang yang telah rusak.

Selain dari keempat syarat itu, harta pusaka dilarang untuk dijual atau digadaikan. Walaupun penggadaian harta pusaka terikat oleh ketentuan-ketentuan adat, namun tidak sedikit datuk yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memberikan izin penggadaian harta pusaka kaum di luar ketentuan adat.

Sengketa penggadaian harta pusaka menimbulkan ketidakpercayaan kemenakan kepada datuk, sehingga menyebabkan hubungan kedua pihak semakin renggang.

“Sawah kaum saat ini hanya cukup untuk makan saja, sekarang hasilnya sudah tidak seberapa,” ungkap Datuk Maajo Basa ketika saya berjumpa di kediamannya.

Datuk Maajo Basa diangkat sebagai datuk pada tahun 1982, ia berasal dari suku Sikumbang.

Dari penuturannya, rumah gadang milik kaumnya itu telah ditinggalkan 20 tahun yang lalu, kemudian difungsikan sebagai Taman Pendidikan Alquran beberapa waktu sesudahnya, hingga pada akhirnya terhenti dan terbengkalai begitu saja.

Ia bekerja sebagai tukang bangunan dan bertani. Ia paham bahwa saat ini bahan kayu untuk rumah gadang sulit untuk didapatkan, ditambah harganya yang semakin mahal. Ia tidak yakin dengan hasil panen padi dari sawah pusaka kaum dapat menutupi biaya perawatan.

“Rumah gadang itu dibangun dengan harta pusaka, diperbaiki secara bersama, kalau biaya sendiri itu untuk rumah pribadi, makanya orang-orang lebih memilih membangun rumah pribadi untuk anaknya,” ungkap Datuk Maajo Basa.

Pewaris Rumah Gadang

Esoknya, saya menuju Jorong Pariangan, ke rumah gadang Datuk Cilangik. Rumah gadang ini menjadi salah satu yang terbesar di Nagari Pariangan dengan sembilan ruang.

Kondisi rumah gadang Datuk Cilangik tidak jauh berbeda dengan rumah gadang Datuk Barabanso di Jorong Sikaladi. Bedanya, langit-langit atap rumah gadang ini telah menjadi tempat beristirahat kelelawar di waktu siang hari.

Saya tidak cukup berani untuk masuk, lantainya sangat tidak mungkin untuk dipijaki, lapuk dan ringkih. Beberapa masyarakat yang tinggal di sekitar rumah gadang juga menceritakan tentang hal-hal mistis yang ada di rumah gadang ini, menambah ketidakyakinan saya untuk masuk ke dalamnya.

Datuk Cilangik telah wafat, gelar adatnya belum ada yang menggantikan. Saya kemudian menemui Datuk Tampang, datuk yang memayungi kaum Datuk Cilangik yang sekaligus menjadi mamak dari rumah gadang itu.

Rumah gadang ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian mudiak, sebutan untuk udik. Bagian lainnya adalah hilia, sebutan untuk hilir. Keduanya tetap dalam satu kaum yang sama namun terbagi dari ibu yang berbeda.

“Penggunaan harta pusaka menjadi sulit, karena yang masih memiliki harta pusaka hanya di kelompok bagian hilia saja, kelompok bagian mudiak sudah tidak ada lagi, ini yang membuat sulitnya kesepakatan,” sambung Datuk Tampang.

Pewaris rumah gadang yang terbagi atas dua kelompok harus bersepakat untuk saling membantu dalam perbaikan rumah gadang.

“Harta pusaka ada, tapi tidak bisa digunakan untuk itu. Ada satu pihak yang mau memperbaiki, dan satu pihak lainnya memilih untuk membiarkan saja,” jelas Datuk. “Percuma saja nantinya pihak ini mau untuk memperbaiki rumah gadang, sedangkan pihak sebelahnya tidak.”

Dr. Zainal Arifin, dosen Antropologi di Universitas Andalas, Sumatera Barat, membenarkan perihal sulitnya mencapai kesepakatan sebagai sebuah faktor terbengkalainya rumah gadang.

“Sulitnya kesepakatan ini kebanyakan muncul dari perasaan saling mencurigai bahwa pihak suami berusaha mengambil alih rumah gadang, walaupun niat itu sebenarnya tidak ada sama sekali bagi pihak laki-laki,” ujarnya.

Menurut ketentuan adat Minangkabau, menjaga rumah gadang berarti mempertahankan kebesaran sebuah kaum, kebesaran seorang penghulu, dan kesejahteraan sebuah nagari.

Masyarakat yang hidup di Nagari Pariangan dikenal sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat. Mereka berada di nagari yang dikenal sebagai wilayah jantung adat Minangkabau.

Konon Nagari Pariangan disebut-sebut menjadi nagari yang melahirkan adat dan lembaga Minangkabau setelah turunnya nenek moyang mereka dari puncak Gunung Marapi..

Sejarah Luhak Nan Tigo

Jika berpedoman pada cerita ahli adat, perkembangan kehidupan masyarakat Minangkabau dimulai dari Luhak Nan Tigo (daerah pusat Minangkabau), yang terdiri dari Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota.

Ketiga luhak ini menjadi daerah inti Minangkabau, sedangkan daerah di luar tiga luhak ini disebut sebagai rantau.

Daerah inti Minangkabau ini disimbolkan dengan ‘Marawa’, bendera kebesaran adat Minangkabau berwarna hitam, kuning, dan merah, yang dapat ditemui di acara-acara besar adat.

Nagari Pariangan termasuk dalam Luhak Tanah Datar, yang juga dikenal sebagai daerah tertua. Sebutan itu berasal dari kepercayaan masyarakat tentang Nagari Pariangan sebagai daerah tertua di Minangkabau.

Menurut para ahli adat, setiap cerita mengenai sejarah Minangkabau tertulis di dalam sebuah kitab yang disebut sebagai Tambo Alam Minangkabau.

Kitab ini mengisahkan cerita asal-usul nenek moyang, pengelompokan anggota masyarakat, asal-usul nagari, dan berbagai cerita sejarah alam Minangkabau.

Simbol Bundo Kanduang

Rumah gadang juga menjadi simbol kebesaran perempuan di Minangkabau. Bundo kanduang adalah perempuan yang memiliki kehormatan dan keutamaan sepanjang adat.

Kegiatan rutin para perempuan Nagari Pariangan di sektor domestik. Rumah gadang juga menjadi simbol kebesaran perempuan di Minangkabau
Kegiatan rutin para perempuan Nagari Pariangan di sektor domestik. Rumah gadang juga menjadi simbol kebesaran perempuan di Minangkabau (NGI/Muhammad Alzaki Tristi)

Warga mempunyai pepatah, ‘Bundo kanduang dalam kaum, limpapeh rumah nan gadang’. Artinya, bunda kandung dalam kaum merupakan tiang utama di rumah gadang.

Penggalan pepatah itu mewakili kedudukan seorang perempuan sebagai figur terhormat.

Perempuan di Minangkabau yang diwakilkan oleh sosok bundo kanduang memiliki keistimewaan menjadi penerima ketentuan keturunan menurut garis ibu, penerima ketentuan rumah tempat tinggal, penerima ketentuan harta dan menjadi prioritas dalam sumber ekonomi, serta pemegang hak suara istimewa dalam bermusyawarah.

Posisi perempuan berbanding terbalik dengan posisi laki-laki di Minangkabau dalam hal jaminan kehidupan. Tidak ada jaminan bagi laki-laki Minangkabau untuk hidup makmur. Mereka dituntut untuk merantau dan berjuang dengan kemampuannya sendiri.

Bagi laki-laki lajang atau duda, tidak ada tempat untuknya tidur di rumah gadang, atau rumah pribadi milik ibunya sekalipun. Mereka tidur di surau-surau dan pulang ke rumah hanya ketika makan, atau beristirahat ketika sakit.

Laki-laki Minangkabau telah membiasakan menghabiskan waktunya di luar rumah, seperti di lapau atau di surau. Lapau atau kedai menjadi tempat beristirahat setelah letih bekerja dan sebagai pusat bertukar informasi tentang berbagai hal.

Bagi laki-laki yang sudah menikah pun, lapau menjadi tempat pelarian apabila mengalami permasalahan di dalam rumah tangga.

Dari obrolan saya dengan beberapa laki-laki pengunjung lapau, mereka menyampaikan bahwa laki-laki Minangkabau harus peka terhadap sindiran dan kiasan.

Laki-laki yang tinggal di dalam rumah keluarga istrinya, harus mampu melatih rasa dan kepekaan. Laki-laki harus bisa melihat apakah mertuanya memberi sindiran atas sikap selama di rumah, dan peka terhadap kiasan yang mereka ucapkan.

Laki-laki yang mengalami permasalahan di rumah istrinya, kemudian menuju lapau sebagai tempat menyegarkan dan memberi ruang dari pikiran yang kusut.

Begitupun dengan surau yang tidak hanya difungsikan sebagai tempat mengaji dan belajar agama saja. Surau dalam kehidupan di Minangkabau juga difungsikan sebagai tempat persiapan laki-laki berlatih kemampuan bela diri silat dan ilmu kebatinan.

Latihan dilakukan di malam hari dengan bimbingan guru silat. Silat, ilmu kebatinan, dan ilmu agama menjadi bekal laki-laki Minangkabau sebelum pergi meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan kehidupan di tanah rantau.

Harta Laki-laki

Laki-laki di Nagari Pariangan memiliki aktivitas rutin setiap minggunya, yaitu berburu babi dan pacu jawi. Kedua tradisi ini dikenal dengan sebutan ‘badunyia’ yang berarti menghabiskan.

Pada kenyataannya, kegiatan ini memang menghabiskan dana dan tenaga dengan tujuan mencari kepuasan pribadi dan kebanggaan atas kehebatan anjing dan sapi yang dimiliki.

Kepemilikan anjing atau sapi menjadi harta laki-laki yang bebas dimiliki tanpa campur tangan pihak perempuan. Dengan kata lain, pacu jawi dan buru babi sejalan dengan kebebasan laki-laki yang tidak dimiliki perempuan di Minangkabau.

Perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah gadang, mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, berbelanja ke pasar, mengasuh dan mendidik anak-anak. Perempuan Minangkabau diikat dalam aturan-aturan adat tentang cara berprilaku dan menjaga martabat dalam kehidupan di Minangkabau.

Restorasi Rumah Gadang

Pada 2017, Bupati Tanah Datar telah merencanakan restorasi kawasan Nagari Tuo Pariangan setelah mempertimbangkan potensi wisata yang terdapat di nagari itu.

Beberapa bangunan rumah gadang masih tetap berdiri dengan kondisi yang cukup baik, namun harus berjuang untuk bertahan di saat rumah-rumah gadang lain mulai ditinggalkan para pemiliknya.
Beberapa bangunan rumah gadang masih tetap berdiri dengan kondisi yang cukup baik, namun harus berjuang untuk bertahan di saat rumah-rumah gadang lain mulai ditinggalkan para pemiliknya. (NGI/Muhammad Alzaki Tristi)

Di tahun yang sama, Presiden bersama Menteri PUPR melakukan kunjungan ke Nagari Pariangan sekaligus mengusulkan pembuatan rencana induk untuk tahun 2018. Di dalamnya terdapat rencana revitalisasi rumah-rumah gadang dan surau di Nagari Pariangan.

“Tercatat di lokasi itu ada 10 surau dan 68 rumah gadang di dalam master plan,” jelas Lovely Hendra, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanah Datar.

Rencana induk itu akan direalisasikan pada 2019, apabila hubungan kerja sama pemerintah dengan masyarakat pemilik tanah kaum berjalan lancar.

“Terdapat masalah hingga saat ini, yaitu munculnya ketakutan bagi masyarakat Nagari Pariangan atas hilangnya hak kepemilikan rumah gadang mereka apabila direvitalisasi oleh pemerintah,” jelas Lovely Hendra.

Dalam sistemnya, pemerintah pusat akan menurunkan dana perbaikan kepada yayasan yang berbadan hukum, bukan ke perorangan, hal ini ditujukan agar penyaluran dana lebih mudah dan menghindari kesalahpahaman dalam proses perbaikan rumah gadang.

Namun, hingga saat ini, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Tanah Datar masih menunggu adanya yayasan berbadan hukum yang mampu mengelola dana dari pemerintah pusat sekaligus menyelesaikan permasalahan tanah adat.

Hingga kini, belum dapat dipastikan kapan rencana induk mulai bisa direalisasikan.

Dalam proses pengupayaan bantuan revitalisasi rumah gadang, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tanah Datar memiliki peran sebagai perekomendasi bagi komunitas adat dan pewaris rumah gadang yang meminta bantuan melalui proposal.

“Kami bekerja sama dengan BPNB (Badan Pelestarian Nilai Budaya) untuk membantu merekomendasikan proposal bagi para komunitas atau pewaris rumah gadang itu sendiri,” jelas Ariswandi, Kepala Seksi Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tanah Datar.

Masyarakat Minangkabau mampu menjaga kokohnya rumah-rumah gadang jika menggunakan sistem pengaturan ekonomi dan pengelolaan harta pusaka kaum yang telah diatur di dalam adat.

Bangunan rangkiang (lumbung padi) yang berada di halaman depan setiap rumah gadang menjadi pengatur pengelolaan hasil panen sesuai kegunaannya. Dari beberapa bangunan rangkiang, masyarakat Minangkabau mampu untuk mengelola hasil panen padi dan pengeluarannya sesuai kebutuhan.

Terdapat tiga jenis rangkiang yang banyak dibangun. Ada lumbung yang berisi padi untuk makanan anak kemenakan dan belanja keperluan rumah tangga.

Ada lumbung yang difungsikan untuk menolong masyarakat di kampung sewaktu musim gagal panen. Lumbung lainnya untuk membantu musafir, orang-orang yang kelaparan, dan untuk penanti acara besar atau tamu yang datang.

Kehidupan di dalam rumah gadang menjadi komponen penting dalam membangun karakter masyarakat Minangkabau. Bangunan ini ditinggali oleh beberapa kepala keluarga dalam satu rumah besar secara turun-temurun dan terus berkembang.

Kelas ekonomi dan sosial pewaris rumah gadang pun termasuk dalam kategori yang mapan, karena ditinggali oleh keturunan para petinggi adat.

Dari tiga jenis bangunan lumbung yang terdapat di setiap rumah gadang, dapat dipastikan bahwa pewaris rumah gadang adalah masyarakat yang hidup sejahtera.

Namun pada saat ini, rumah gadang yang rusak dan terbengkalai itu seolah menjadi gambaran ketidakmampuan para pewaris dalam merawat harta pusaka yang dititipkan para leluhurnya.

Rumah kebesaran kaum ini hanya sebagai ingatan masa lalu tentang kehidupan-kehidupan sejahtera yang pernah ada di dalamnya.

Waktu terus berjalan dan para pewaris rumah gadang masih terbata-bata untuk memperbaiki rumah kebesaran kaumnya ini. Tidak ada yang mampu menjamin rumah gadang masih memiliki arti yang besar bagi masyarakat Nagari Pariangan.

Saya miris mendapati warisan ini tidak lagi seperti kata pepatah, Sumarak dalam nagari, hiasan dalam kampuang—tampak semarak dalam nagari, menjadi hiasan dalam kampung. (NGI/Muhammad Alzaki Tristi)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved