Nasib Rumah Gadang, Pusaka Adat yang Kini Tak Lagi Sebesar Namanya
Rumah gadang termasuk dalam harta pusaka tinggi yang diwariskan secara matrilineal, karena diperuntukkan hanya untuk perempuan
Pada 2017, Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat telah melakukan pemetaan mengenai sebaran Sumber daya Budaya di Nagari Pariangan.
Dari total 70 rumah gadang yang terdata, terdapat 13 rumah gadang dengan kondisi rusak dan tidak terawat, dan 20 rumah gadang menyisakan tapak (tanah berdirinya) saja.

Dari peta sebaran yang diberikan, saya menuju lokasi rumah-rumah gadang itu dan mencari tahu penyebabnya ditinggalkan.
Saya menuju rumah gadang Datuk Maajo Basa di Jorong Sikaladi. Kondisi bangunan ini hanya menyisahkan tiang dan atap bergonjong, tanpa dinding dan lantai.
Rumah gadang tiga ruang ini memiliki halaman luas di sampingnya, yang merupakan bekas berdirinya rumah gadang Datuk Maajo Basa yang pertama. Warga setempat biasa menyebutnya sebagai rumah induak.
Saya menemui pihak keluarga sekaligus ahli waris rumah gadang Datuk Maajo Basa yang bernama Imam Kayo. Ia adalah mamak, sebutan untuk paman, dari rumah gadang itu.
“Pergi merantau, meninggalkan kampung, keturunan perempuan juga sudah banyak yang meninggal, ini yang menyebabkan rumah gadang tidak terawat,” ungkap Imam Kayo.
“Ibu saya memiliki empat orang anak, dua laki-laki dan dua perempuan. Kakak laki-laki saya telah meninggal, dan saudari perempuan saya merantau ke Pekanbaru dan Sawahlunto, yang kemudian juga meninggal di perantauan. Hanya saya yang tinggal sebagai mamak satu-satunya.”
Ia menyebutkan bahwa masih terdapat satu ahli waris saparuik, atau saudara seibu, dari rumah gadang ini: satu orang anak perempuan. Namun, ia pun turut meninggalkan kampung halaman, pergi merantau mengikuti suaminya ke Kota Bukittinggi.
“Kurangnya keturunan perempuan menyebabkan tidak ada yang mampu mengurus rumah gadang kami. Keadaan yang telah menghukum,” sambungnya.

Soal perbaikan rumah gadang, Imam Kayo tidak memiliki banyak pilihan. Posisinya hanya sebagai seorang laki-laki, tidak memiliki hak atas kepemilikan dan perawatan rumah gadang.
Seperti laki-laki di Minangkabau pada umumnya, ia tinggal di rumah keluarga istrinya, menjadi sumando (tamu di keluarga perempuan).
Ia hanya bisa menunggu peran datuk sebagai pemimpin kaum untuk mengumpulkan anggota kaumnya dan bermusyawarah mengenai nasib rumah gadang itu.
Seorang datuk dipercaya oleh anggota kaumnya sebagai pemimpin dan penjaga harta pusaka kaum. Posisinya sangat penting sebagai penimbang keputusan penggadaian harta pusaka untuk kepentingan yang mendesak dan sesuai ketentuan adat.
Harta pusaka dapat digadaikan apabila dipergunakan dalam empat syarat. Pertama, ‘Mayiak tabujua di ateh rumah’, tidak adanya dana untuk prosesi pemakaman jasad seorang anggota kaum.