Kulon Progo

Bandara NYIA Beroperasi Minimum Tanpa Perlindungan Sabuk Hijau

NYIA dimungkinkan belum punya pelindung alami dari ancaman bencana tsunami maupun abrasi saat operasi minimum akhir April 2019 ini.

Penulis: Singgih Wahyu Nugraha | Editor: Gaya Lufityanti
Humas AP 1
Kondisi terkini pembangunan Bandara NYIA di Temon, Kulon Progo. Foto diambil pada 2 April 2019. 

TRIBUNJOGJA.COM, KULON PROGO - New Yogyakarta International Airport (NYIA) atau bandara baru internasional Yogyakarta di Temon, Kabupaten Kulon Progo dimungkinkan belum punya pelindung alami dari ancaman bencana tsunami maupun abrasi saat operasi minimum akhir April 2019 ini.

Pasalnya, hingga saat ini belum dilakukan pembangunan area sabuk hijau (green belt/green barrier) di kawasan pantai selatan bandara tersebut.

Rencananya, kawasan pantai di selatan lahan NYIA itu memang hendak dibangun sabuk hijau yang memanjang dari wilayah Pantai Glagah hingga Pantai Congot.

Baca: 8 Langkah Mudah Quick and Fresh Make Up Look dari Emina Cosmetics

Berupa area vegetasi pohon cemara berikut gumuk pasir yang difungsikan untuk menahan terpaan angin, potensi abrasi, hingga gelombang tsunami yang berpotensi mengancam keselamatan operasi penerbangan di NYIA.

Pihak pemrakarsa pembangunan NYIA PT Angkasa Pura I maupun Pemerintah Kabupaten Kulon Progo hingga saat ini masih juga tarik ulur tanggung jawab untuk pembangunan green barrier tersebut.

Saat ini memang masih ada sekelumit permasalahan sosial yang tak kunjung rampung atas lahan pantai di pesisir selatan NYIA.

Sejumlah pemilik tambak udang, usaha hotel dan penginapan, serta pedagang dan warga menolak lapaknya digusur untuk rencana penataan kawasan pantai itu.

Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo mengakui bahwa adanya permasalahan itu dan harus diselesaikan terlebih dulu sembari membentuk nota kesepahaman (MoU) antara tiga pihak utama yang saling berkepentingan.

Yakni, Pemkab Kulon Progo, Pura Pakualaman sebagai pemilik lahan, serta AP I.

Ia beralasan, MoU ini jadi bagian penting untuk mempersiapkan rencana penataan kawasan pantai tersebut.

Baca: Alasan Nama Bandara Baru Yogyakarta Diubah dari NYIA menjadi YIA

"Kalau tanggal 2 atau 30 April ini bandara diresmikan, mungkin belum ada sabuk hijaunya. Tanahnya kan bukan milik kita melainkan Pakualaman jadi harus ada MoU dulu. Prinsipnya, kita MoU dulu secepatnya mau bagaimana pengelolaannya setelah itu kita libatkan warga terdampak untuk penyelesaiannya," jelas Hasto, Senin (8/4/2019).

Hasto mengatakan, pembangunan sabuk hijau pelindung NYIA harus dilakukan bersama-sama.

Pihaknya sudah ada komunikasi dengan pihak-pihak terkait meski belum bisa dipastikan kapan MoU itu terbentuk.

Adapun di kawasan pantai sepanjang Glagah hingga Congot sejauh sekitar lima kilometer itu menurut Hasto terdapat kurang dari 30 rumah warga (termasuk hotel dan penginapan), serta lebih dari 50 kolam tambak udang yang sebagian sudah dikosongkan.

Dalam hal ini, Pemkab Kulon Progo menganggap bangunan penginapan dan tambak udang itu menyalahi aturan tata ruang karena tidak berada pada zona peruntukannya serta menggunakan lahan sempadan pantai.

Di sisi lain, Pemkab Kulon Progo sudah menyusun rencana detail teknis (DED) penataan kawasan wisata Pantai Glagah yang diyakini bakal membawa efek peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Hasto menyebut, warga akan dilibatkan untuk bersama-sama membangun konsep pariwisata Pantai Glagah yang baru melalui konsep penataan dwifungsi mitigasi bencana dengan sabuk hijau sekaligus wisata yang mendatangkan rezeki ketimbang hanya hotel ilegal.

Baca: Runway NYIA Belum Sempurna, Kementerian Perhubungan Beri 7 Poin Mandatory

"PR saya itu memulihkan situasi yang ada di selatan bandara supaya kalau tambak dan rumah ditutup, mereka (warga) bisa bersama-sama membangun wisata. Tugas saya sebagai Bupati di daerah untuk berkomunikasi dengan mereka ini, maunya seperti apa," kata Hasto.

Disinggung terkait risiko adanya ancaman keselamatan NYIA atas adanya bangunan penginapan di selatan bandara tersebut, Hasto menepisnya.

Pihaknya mengupayakan komunikasi intensif secara door to door kepada warga untuk mengantisipasi ancaman tersebut.

Sabuk hijau di selatan NYIA itu menjadi bagian dari mitigasi bencana yang disusun AP I.

Sabuk hijau diharapkan bisa melindungi NYIA dari potensi ancaman bencana tsunami sekaligus mencegah abrasi di bibir pantai.

Apalagi, letak landasan pacu terhitung sangat dekat dengan area pantai.

Jika di area itu terdapat aktivitas penduduk, seperti adanya usaha penginapan dan lalu lalang pengguna jasanya, dikhawatirkan ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkannya untuk membawa ancaman terhadap keselamatan pengguna jasa penerbangan di NYIA.

Project Manager Pembangunan NYIA PT AP I, Taochid Purnama Hadi tak banyak berkomentar terkait rencana penggusuran tambak udang dan penginapan di selatan NYIA untuk pembangunan sabuk hijau tersebut.

Menurutnya, kewenangan penataan kawasan tersebut bukan hanya di pihak AP I melainkan juga pihak-pihak terkait.

Baca: Bandara Baru NYIA Kulonprogo Bakal Berganti Nama Menjadi YIA

Pihaknya hanya bisa mengimbau agar kawasan itu murni digunakan untuk sabuk hijau dan tidak ada tambak udang lantaran berpotensi membahayakan operasi penerbangan.

"Karena dikhawatirkan apabila ada tambak lalu mengundang burung. Penginnya, segera sebelum bandara ini beroperasi kita mulai tanam vegetasi cemara udang sebagai barrier," kata Taochid.

Terkait pelaksanaan penggusuran itu, Taochid mengaku sedang mengkoordinasikannya dnegan pihak terkait, seperti pemerintah daerah.

Pihaknya juga siap membantu penataan lahan itu dengan mengerahkan peralatan yang ada di dalam proyek pembangunan NYIA.

"Sudah kami sampaikan ke bupati, kalau ada tambak (sudah) kosong minta diuruk dan butuh bantuan kami pasti dibantu. Peralatan kami banyak, bolehlah kalau mau dipakai. Tapi bukan berarti kami yang terdepan," kata Taochid.

Dari catatan Tribunjogja.com, AP I kerap menyebut pembangunan NYIA sudah memperhitungkan risiko bencana yang mungkin dihadapinya dengan melibatkan para pakar dan akademisi serta ahli bidang terkait dari Jepang untuk membuat simulasi gempa dan tsunami di bandara baru tersebut.

Runway atau landasan pacu dibuat dalam ketinggian bidang 4 meter di atas permukaan laut serta lokasinya berada pada jarak 400 meter dari bibir pantai.

Sedangkan gedung terminal penumpang berada pada jarak lebih jauh dan konstruksinya dirancang untuk mampu bertahan ketika digoyang gempa berkekuatan hingga 8,8 Skala Richter serta tetetap kokoh sekalipun diterjang gelombang tsunami setinggi 4 meter.

Baca: Bandara NYIA Kulonprogo Tunggu Verifikasi Kemenhub, Jadwal Operasional Minimum Diprediksi Mundur

Lantai dua terminal yang tingginya 6 meter dari lantai dasar dikonsep sebagai tempat evakuasi sementara (TES) untuk penumpang dan komunitas bandara.

Jadi, ketika tsunami terjadi, penumpang tidak perlu panik dan langsung diarahkan untuk mengamankan diri di lantai dua.

Gedung terminal ini juga dilengkapi dengan konsruksi sacrifice column atau kolom yang dikorbankan ketika tsunami menerjang.

Letaknya ada di sisi terminal namun dalam konstruksi tersendiri.

Kolom ini membantu menggemboskan energi hempasan gelombang yang bersifat destruktif sebelum mencapai fisik terminal.

Selain itu, disediakan pula gedung crisis center yang berfungsi sebagai TES bagi orang dalam bandara maupun warga sekitar bandara.

Konstruksinya berupa gedung yang ditopang pilar-pilar tinggi dan dilengkapi ram pada akses masuknya.

Luasan bangunannya sekitar 4.000 mter persegi dan sanggup menampung hingga 1000 orang.

Ketika terjadi gempa dan alarm waspada tsunami berbunyi, pintu-pintu di samping gedung akan terbuka sehingga masyarakat bisa langsung mengaksesnya tanpa harus lari terlalu jauh ke tempat evakuasi. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved