Misteri Makam Planden
Temuan Planden Terdata Sejak 1980, Koleksinya Kini Ada di Tangan BPCB
Tim BPCB DIY dipimpin Kepala Unit Penyelamatan, Pengembangan dan Pemanfaatan BPCB DIY, Andi Muhammad Taufik, Senin (25/3/2019) bertemu Dukuh Planden
Penulis: Setya Krisna Sumargo | Editor: Mona Kriesdinar
Yoni dan lingga dalam khasanah bangunan pemujaan, umumnya ditempatkan secara terhormat di bangunan induk. Contoh paling mudah ada di Candi Ijo, Candi Kedulan, Candi Sambisari, dan candi-candi lain yang bercorak Siwa.
Namun ada pula yoni yang ditempatkan di sawah, tegalan, atau lading-ladang pertanian. Benda itu biasanya dipakai untuk upacara suci terkait ritus pertanian, karena yoni dianggap perlambang kesuburan.
Nuryanto, Kepala Dukuh Planden --sebelum data lama BPCB dibuka kemarin--, menggeleng saat ditanya ke mana benda kuna itu diangkut. “Itu zaman Pak Dukuh sebelum saya. Saya tidak tahu ke mana dibawanya,” kata Nuryanto di rumahnya.

“Saya waktu itu masih muda. Kejadiannya kalo tidak salah 1992 atau 1993. Pakai katrol angkat yoninya. Banyak warga yang menyaksikan,” tambah Nuryanto yang tak lain keturunan Mbah Soma, yang pagar makamnya dibangun menggunakan batu-batu candi.
Setelah disodorkan data masa SPSP, Nuryanto baru menggut-manggut, dan paham benda-benda dari sekitar makam leluhurnya itu memang sudah di tangan BPCB. Ia mengaku familier dengan yoni lingga yang pernah dilihatnya di depan makam Mbah Soma.
“Iya, betul ini yoninya. Ada ceratnya masih bagus. Lingganya terpisah, ada di lembar lain,” kata Nuryanto sembari membolak-balik lembar arsip BPCB itu di tangga makam Mbah Soma. “ Arcanya juga sama, ada mustoko (kemuncak), dan arca lembu njerum (nandi),” lanjutnya.

Andi Muhammad Taufik berharap setiap pihak yang merasa melihat, menemukan, mendapat informasi tentang artefak kuna bisa melaporkan dan mengonfirmasikan ke BPCB DIY. “Sehingga bisa dicek datanya di arsip supaya jelas,” katanya.
Menurut Taufik, dilihat dari jejak-jejak temuan permukaan, diperkirakan bangunan di makam Planden pada masa kuna dulu adalah candi. “Ukurannya mungkin seperti Candi Sambisari. Ini masih perkiraan melihat yang nampak di permukaan,” katanya.

Untuk mengetahui secara jelas apa yang dulu pernah berdiri di makam tersebut, diperlukan penelitian mendalam dan menyeluruh. Namun di sisi lain, BPCB DIY juga mempertimbangkan efek sosialnya, karena letak jejak kekunaan itu ada di sebuah makam yang masih difungsikan.
“Seperti jejak di makam Gaten, Tempel, Sleman, itu juga tidak mudah karena ada di sebuah makam yang digunakan empat dusun. Juga ada makan milik perorangan. Kita menimbang dampak sosialnya jika digali untuk diteliti,” lanjut Taufik.(Tribunjogja.com/xna)