ADVERTORIAL
DP3AP2 DIY Dorong Pemenuhan Pendidikan dan Pernikahan di Usia Layak
Menikah di usia muda dan pemenuhan pendidikan yang belum cukup memang menjadi masalah klasik.
Penulis: Susilo Wahid Nugroho | Editor: Gaya Lufityanti
TRIBUNJOGJA.COM, GUNUNGKIDUL - Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY melakukan sosialisasi pemahaman gender kepada masyarakat di Balai Desa Terbah, Patuk, Gunung Kidul belum lama ini.
Pendidikan dan pernikahan dini jadi fokus sosialisasi.
Arif Nasiruddin selaku Kasi Data Informasi Gender dan Kerjasama DP3AP2 DIY, Arif Nasirudin mengatakan, sosialisasi dilakukan untuk memberi gambaran secara jelas terkait posisi, hak, dan kewajiban perempuan yang berprinsip kesetaraan.
Tak hanya di lingkup terkecil yaitu keluarga, tapi juga lingkup kehidupan sosial.
“Kami berikan penjelasan peran perempuan dari sisi gender, yaitu perbedaan biologis perempuan mengalami mens, hamil, menyusui yang itu tidak dimiliki laki-laki. Kemudian sudut pandang gender yaitu dari sisi peran perempuan yang dibentuk dari budaya masyarakat,” kata Arif saat ditemui Tribunjogja.com di kantor DP3AP2 DIY.
Melihat warga Terbah yang sebagian besar kaum perempuan di sana telah menikah dan mempunyai anak di usia dini, perlu upaya mengajak warga di sana untuk sadar pentingnya cukup umur demi kesiapan mereka membangun rumah tangga.
Cukup umur, berarti menjadikan kaum perempuan siap dari sisi fisik maupun psikis.
Selain masalah menikah di usia dini ini, tingkat pemenuhan pendidikan perempaun di sana juga masih rendah.
Rata-rata kaum perempuan di sana hanya bersekolah sampai tingkat SMA.
Bahkan ada beberapa yang hanya sampai SMP.
Setelah itu, mereka langsung menikah tanpa melanjutkan ke jenjang universitas.
Baca: Sosialisasi Kesetaraan Gender DP3AP2 di Mangunan, Petugas Beri Apresiasi ke Warga
“Menikah di usia dini, bersekolah hanya sampai SMP dan SMA ini menjadi perhatian kita untuk warga Terbah. Karena bicara kesetaraan gender, baik laki-laki maupun perempuan perlu mendapat pendidikan yang sama. Menikah di usia cukup juga menjadikan perempuan lebih matang dari sisi emosional,” kata Arif.
Tak hanya berhenti pada kegiatan sosialisasi, pihak DP3AP2 DIY berupaya memaksimalkan program lanjutan.
Satu di antaranya mengoptimalkan proram Penundaan Usia Perkawinan (PUP) yang pada akhirnya punya konsep besar sama dengan kesetaraan gender.
Selain itu, juga dilakukan kampanye menunda perkawinan dini.
“Kita juga mendorong pemerintah kabupaten dan kota di Yogyakarta membuat Perda dan Perbup yang arah tujuan akhirnya untuk menunda terjadi perkawinan dini. Sejauh ini di Gunungkidul dan Kulon Progo sudah ada. Selain juga demi memenuhi pendidikan yang cukup untuk kaum perempuan,” kata Arif.
Sementara itu Anggoro Budi Prasetyo, Direktur LSM Aksara menyebut, menikah di usia muda dan pemenuhan pendidikan yang belum cukup memang menjadi masalah klasik.
Ini biasa terjadi, di kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah kesulitan mendapat akses jalan maupun fasilitas yang memadai.
“Di Terbah ini juga seperti itu. Akses fasilitas publik di sana belum maksimal. Tingkat ekonomi warga yang masih rendah ditambah kultur yang sudah berlangsung cukup lama. Akibatnya, orang tua lebih memilih segera menikahkan anaknya lalu mengurus rumah atau bekerja dibanding lanjut sekolah yang perlu biaya,” kata Anggoro.
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu ada tindak lanjut multipihak.
Baca: DP3AP2 DIY Gelar Sosialisasi Kesetaraan Gender untuk Masyarakat
Artinya, tanggung jawab bukan hanya di lembaga yang concern di bidang ini saja, DP3AP2 DIY misalnya.
Melainkan, elemen pemerintahan seperti pemerintah pusat, tingkat kabupaten, kota, maupun desa.
Bahkan di tataran lingkungan masyarakat itu sendiri.
Pemerintah, dalam hal ini bisa berkontribusi membuat regulasi melalui Undang Undang atau Perda dan Perbub yang arahnya berpihak pada pemenuhan pendidikan untuk perempuan dan kelayakan usia untuk perempuan menikah.
Antar bidang, juga harus sinkron supaya tidak saling bertentangan.
“Misalnya aturan menikah dari pemerintah itu kan minimal 16 tahun untuk perempuan, lalu 19 tahun untuk laki-laki. Sementara dari UU Perlindungan anak, 16 tahun ini masih masuk kategori anak yang diartikan belum cukup umur untuk menikah. Kiranya hal-hal seperti ini perlu disinkronkan di masa yang akan datang,” kata Anggoro.
Peran masyarakat, dalam hal ini pemerintah desa juga bisa sangat penting.
Misalnya dengan memaksimalkan dana desa untuk keperluan pemberdayaan masyarakat yang arahnya juga untuk kesejahteraan warga termasuk perempuan.
Misalnya dengan penciptaan lapangan pekerjaan atau program lainnya. (*)