Kota Yogyakarta

Tolak Aura Negatif, Dodok Sesalkan Kebijakan Pencabutan Moratorium

Aksi ini disebutkannya untuk melibas aura jahat dan bentuk negatif lain yang melekat pada pengayom masyarakat.

Penulis: Kurniatul Hidayah | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM / Kurniatul Hidayah
Dodok Putra Bangsa sedang menggelar ritual menangkal aura negatif di Pemerintahan Kota Yogyakarta, Rabu (9/1/2019). 

Laporan Reporter Tribun Jogja Kurniatul Hidayah

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Buntut kekecewaan atas kebijakan yang diambil Pemerintah Kota Yogyakarta terkait moratorium hotel, membawa Dodok Putra Bangsa yang mewakili nama Warga Berdaya, melakukan aksi tunggal di depan Kantor Balaikota Yogyakarta.

Aksi ini disebutkannya untuk melibas aura jahat dan bentuk negatif lain yang melekat pada pengayom masyarakat.

Sesosok pria berambut panjang terikat, mengenakan kaos hitam serta denim selutut mendekat ke arah papan penunjuk identitas Kantor Balaikota Yogyakarta, Rabu (9/1/2019).

Ia mengeluarkan secarik kertas putih, lengkap dengan coretan pena hitam bertuliskan 'HOTEL'.

Baca: LO DIY Nilai Pencabutan Izin Moratorium Hotel Rawan Disalahgunakan

Ia lantas menyeruak masuk ke batas taman untuk menempelkan kertas tersebut tepat menutupi tulisan 'kota' yang tersemat dalam kata Walikota.

Tampaklah susunan kalimat tersebut berbunyi Walihotel Yogyakarta.

Tak berhenti sampai di sana, pria yang juga dikenal sebagai aktivis Jogja Ora Didol itu lantas mengambil potongan kardus dan melingkarkannya ke pinggang.

Kini ia berbalutkan kardus dari perut hingga lutut di sisi samping, sementara bagian depan dibiarkan terbuka.

Dodok kemudian menghadap ke arah tulisan hotel yang baru ia tempel.

Tak ada yang menyangka bila sejurus kemudian terlihat luncuran air kecil dari dalam kardus yang diarahkan ke papan penanda Kantor Walikota tersebut, melinangi tembok khususnya di bagian tulisan hotel yang baru tersemat.

Baca: Hariyadi Minta Masyarakat Tidak Buru-buru Menjudge Soal Pencabutan Moratorium Hotel

Menyudahi aksinya, ia mengambil satu kantong plastik berukuran sedang garam kasar yang ia simpan di trotoar.

Dengan penuh kekhusyukan dan konsisten dengan sikap diamnya ketika melangsungkan aksi, ia mulai menaburkan garam ke sekeliling papan hingga seluruh area tertutupi.

Rampung dengan serangkaian aksi tersebut, Dodok mulai angkat suara ke awak media yang sejak awal memperhatikan kegiatannya.

Ia menuturkan, ritual tersebut dilakukan lantaran kebijakan moratorium hotel dinilai tidak pas.

Ia pun menggelar ritual untuk menghilangkan dan mengusir aura negatif.

"Moratorium dimulai tahun 2014 sampai 31 Desember 2018 kemarin. Kalau niat Pak Wali baik, ia akan memperpanjang moratorium tersebut hingga 2022," bebernya.

Ia pun menyayangkan tidak ada penuturan terkait evaluasi moratorium dari 2014-2018 yang disampaikan oleh Pemerintah Kota.

Menurutnya masyarakat berhak mengetahui apa saja dampak yang sudah ada dan dirasakan hingga saat ini.

"Hotel bintang 1-3 sudah terjadi. Dan yang dialami saat ini Yogya jadi macet," ucapnya.

Baca: PHRI DIY Usulkan Moratorium Hotel untuk Bintang 3 ke Bawah

Tak hanya itu, dampak yang dirasakan warga pun lebih akan berefek panjang.

Rumah mereka yang terhalang oleh gedung tinggi, merampas hak mereka untuk mendapatkan sinar matahari pagi.

Dodok menuturkan, air tanah juga akan menyusust meski pemerintah mengharuskan seluruh hotel nantinya menggunakan air dari PDAM dan bukan dari sumur dalam lagi.

"Pada 2014, Miliran kering karena Fave pakai air tanah. Sekarang Hariyadi bilang seluruh hotel nggak boleh air tanah tapi pakai PDAM. Ini pembodohan. PDAM ini pake air tanah. Beda kalau di Jakarta PDAM pakai air kali. Kalau di sini bukan mengelola sungai gede, misal Gajahwong, Code, Winongo untuk sumber air hotel," tandasnya.

Dodok juga mengatakan bahwa keberadaan hotel merampas oksigen.

Pasalnya mereka menyediakan ratusan kamar dan tidak mengimbangi dengan aksi menanam pohon.

"Kalau rumusnya 1 pohon menyediakan okaigen untuk 2 orang, maka mereka mendirikan ratusan kamar dan tidak menanam pohon," tuturnya.

Baca: Rumah Penduduk Tergusur Hotel, Warga Serukan “Gondolayu Ora Didol”

Terkait aksinya tersebut, Dodok mengatakan bukan kali pertama. Februari 2016, warga Miliran melakukan ritual mandi air kembang 7 rupa dari 7 sumur di depan Kompleks Balaikota Yogyakarta, untuk menolak bala yang lahir dari dosa para pemimpin Yogyakarta yang telah menyalahi tatanan kehidupan.

Mei 2018, prosesi ruwatan untuk bumi Yogyakarta kembali digelar, dengan ditarikannya Bedhaya Banyu neng Segara oleh para penari dari Pendapa SangArt.

Tarian bedhaya yang sakral ditarikan di depan Balaikota Yogyakarta oleh 7 perempuan untuk mendoakan bumi yang dipijak sebagai tempat bernaung, hidup, dan mati.

Lalu, di awal 2019, Pemerintah Kota Yogyakarta membuka kembali izin pembangunan hotel berbintang demi alasan investasi dan mendorong pertumbungan ekonomi.

"Padahal, daya dukung lingkungan kota ini sudah begitu terbebani dengan pembangunan 88 hotel baru sejak 2014, serta pembangunan sejumlah apartemen sejak 2016," ucapnya.

Sebelumnya, Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Peraturan Wali Kota (Perwal) nomor 85 tahun 2018 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel.

Baca: Sambut NYIA, PHRI Sleman Sebut Pembangunan Hotel Baru Belum Mendesak

Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi menjelaskan bahwa dengan terbitnya Perwal tersebut, maka izin pembangunan hotel kembali dibuka.

Hanya saja terbatas untuk hotel bintang 4, hotel bintang 5, serta guest house atau home stay.

Ia menyebutkan, saat ini total hotel maupun penginapan di Kota Yogyakarta yang terdata berjumlah 624 unit.

Jumlah tersebut terdiri dari hotel bintang 5 sejumlah 4 hotel, bintang 4 sejumlah 14 hotel, bintang 3 sejumlah 30 hotel, bintang 2 sejumlah 19 hotel, bintang 1 sejumlah 19 hotel, Melati 3 sebanyak 29 hotel, Melati 2 sebanyak 43 hotel, Melati 3 sebanyak 314 hotel, dan losmen 152 buah.

"Semua itu memiliki kapasitas 14-20ribu. Sementara saat liburan Natal dan tahun baru kemarin semua hotel penuh. Bahkan saya dengan ajudan menemukan wisatawan di 5-6 mobil harus nginap di SPBU. Artinya pada hari libur, Yogya sampai menolak tamu," bebernya dalam Jumpa Pers mengenai moratorium, di Ruang Sadewa Balaikota Yogyakarta.

Selain terkait lonjakan wisatawan, Heroe juga menyebut perihal potensi New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang dijadwalkan beroperasi perdana pada 2019 ini.

"Kami juga melihat kondisi strategis bahwa triwulan pertama harapannya akan memiliki bandara baru. Bandara Adisutjipto saat ini membawa 7.000-8.000 penumpang per hari biasa. Bandara baru ini harapannya bisa 15-25ribu orang per harinya," ujarnya.

Dengan mempertimbangkan kondisi itu, lanjutnya, serta kondisi strategis dan pertumbuhan penumpang, maka potensi muncul pada bandara baru serta fasilitas wisatawan.

"Pada 2019 kami akan membuka izin mendirikan hotel, tapi sangat terbatas. Terutama membuka untuk bintang 4 dan 5 serta guest house," ujarnya.(TRIBUNJOGJA.COM/Kurniatul Hidayah)

 

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved