Lifestyle
Catatan Simon Hate setelah Membaca Novel 'Menolak Ayah' karya Ashadi Siregar
Novel ini bisa pula mengingatkan mereka bagaimana perang bisa membuat jalan hidup seseorang menjadi berubah ke arah yang tak diinginkan
Bahkan, bagi mereka yang sama-sama memilih jalan perang pun, bisa berbeda nasibnya, seperti, nasib Habinsaran dan Sunarya.
Tapi perang juga bisa melahirkan tokoh-tokoh penghianat, seperti yang dialami oleh Kolonel Simbolon yang dikhianati oleh bawahannya, Letkol Wahab Makmur dan Letkol Jamin Gintings.
Diakhir novel, diceritakan bahwa Tondi, sang tokoh utama, mengadopsi Tando dan Tarsingot, serta membiayai kehidupan adik-adik tirinya.
Dalam bahasa penulisnya, pada paragraf terakhir: ”Dia tetap tak mau bertemu dengan Pardomutua. Baginya laki-laki itu sudah lenyap ditelan masa lalu. Satu generasi yang harus dianggap hilang. Dia hanya mau berbagi kasih, hanya bersama anaknya, hanya bersama saudaranya, untuk menjalani kehidupan ini.” (hal. 418-419).
Perang memang sudah berakhir, dalam cerita itu, tapi, sebagaimana kita ketahui, akan ada masa Orde Baru, disusul dengan Orde Reformasi.
Akankah ada lagi perang-perang yang memaksa manusia-manusia warga negara Indonesia harus menempuh jalan kehidupan yang jauh dari damai dan cinta kasih?
Selain jalan hidup, ada beberapa isu lain yang dimunculkan dalam novel ini, sehingga novel setebal 419 halaman ini pun terasa terlalu tipis, terlalu singkat.
Dari berbagai isu yang muncul, paling tidak, mestinya novel ini bisa lebih tebal lagi, bisa jadi dua jilid, bahkan bisa sampai tetralogi.
Isu dinamika suku-suku yang bergabung dalam negara kesatuan, lengkap dengan perbedaan keyakinan dan budayanya, bisa menjadi satu jilid tersendiri.
Belum lagi isu ketegangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dalam soal pemerataan pembangunan, atau isu hubungan suami-istri, orangtua dengan anaknya, hubungan dalam keluarga, juga bisa dikembangkan lagi dalam jilid yang lain.
Demikianlah. Salam. Jakarta, 6 Desember 2018.