Lifestyle
Catatan Simon Hate setelah Membaca Novel 'Menolak Ayah' karya Ashadi Siregar
Novel ini bisa pula mengingatkan mereka bagaimana perang bisa membuat jalan hidup seseorang menjadi berubah ke arah yang tak diinginkan
“Menolak Ayah”
Penulis: Ashadi Siregar
Penerbit: KPG (Pepustakaan Populer Gramedia)
Terbit: Juli 2018
Tebal: 419 halaman

Tentang Bagaimana Perang Mengubah Jalan Hidup Orang
Novel ini bagus untuk generasi milenial, bukan saja karena enak dibaca, atau karena judulnya yang mengisyaratkan sikap berontak seorang anak terhadap orangtuanya, tapi juga karena memberikan banyak informasi tentang bagaimana perang demi perang telah mewarnai kehidupan masyarakat kita hingga ke saat ini, ke ‘jaman now’ ini.
Sementara bagi pembaca umum, novel ini bisa pula mengingatkan mereka bagaimana perang bisa membuat jalan hidup seseorang menjadi berubah ke arah yang tak diinginkan, bukan saja secara pribadi, malah terutama secara sosial.
Novel ini cukup tebal (419 hal,) namun enak dibaca, tidak membosankan, tokoh utamanya seorang anak muda yang bernama Tondinihuta.
Dia kenek bus antarkota rute Medan-Bukittinggi, yang kemudian jadi tentara pemberontak.
Mengenai nama ini, Ompu Silangit, kakek sang tokoh, generasi terakhir yang masih mempertahankan adat dan agama asli, menjelaskan.
“Tondi artinya roh, semangat, jiwa kehidupan. Huta bukan hanya berarti kampung. Ingat, bukan sekadar kampung, tapi permukiman yang menjadi sumber kehidupan, sumber yang mempersatukan anak-cucu perkauman. Jadi nama itu berarti roh negeri sekaum”. (hal. 23).
Adat dan agama asli suku ini memiliki konsep tentang kehidupan yang mengaitkan secara ketat antara manusia yang bermukim di suatu tempat, sebagai komunitas (perkauman) dengan alam sekitarnya.
Novel ini menggambarkan bagaimana konsep itu lenyap seiring datangnya Belanda yang memperkenalkan keyakinan yang berbeda.