Lifestyle
Catatan Simon Hate setelah Membaca Novel 'Menolak Ayah' karya Ashadi Siregar
Novel ini bisa pula mengingatkan mereka bagaimana perang bisa membuat jalan hidup seseorang menjadi berubah ke arah yang tak diinginkan
Ceritanya bermula dari tokoh utama terlibat dalam perang di Sumatra Utara, yang oleh Pemerintah di Jakarta dikatakan sebagai pemberontakan, sementara sebagian orang menyebutnya perjuangan daerah.
Lalu, secara kilas balik, sekilas diceritakan tentang perang-perang sebelumnya, seperti perang Tingki ni Pidari, ketika orang dari selatan, yang beragama Islam, menyerang Batak yang masih memeluk Ugamo Batak, Parmalim.
Lalu, Perang Batak, di mana tentara Belanda menyerang pasukan Raja Si Singamangaraja XII, disusul dengan Perang Dunia II, Jepang datang, Belanda kalah (Jaman Jepang), tak lama kemudian, Jepang kalah, Belanda datang lagi (Perang Kemerdekaan), dan berlanjut dengan pemberontakan daerah tadi.
Judul novel ini tampaknya merujuk pada pilihan yang diambil oleh tokoh utama, Tondinihuta, ketika ditawari untuk ikut ayahnya ke Jawa, dia menjawab: ”… Tidak. Aku hanya mau tinggal bersama ibuku! (hal.49).
Walau bukan hanya Tondinihuta yang menolak ayahnya.
Sikap ini juga dilakukan oleh tokoh lainnya, yaitu Silangit, dan Pardomutua.
Kasus Silangit, misalnya, dia menolak mengakui suku ayahnya, seperti tergambar dalam kutipan ini: “Sejak merantau, dia tak pernah memberi kabar, dan tidak pernah pulang mengunjungi ayahnya. Ada yang pernah ketemu dengannya di pesisir timur, dia sudah tidak menggunakan marganya. Dia mengaku sebagai orang Melayu. Menghapus marga dari namanya. … memutus rantai dengan nenek moyang, perbuatan yang sangat terkutuk bagi orang Batak! … Bagaimana mungkin anak seorang Datu Bolon menghapus marganya?” (hal. 39).
Lalu kasus Pardomutua, dia menolak keyakinan ayahnya, Ompu Silangit, yaitu Ugamo Parmalim, dia masuk Kristen, karena hal-hal seperti dalam kutipan berikut ini: ”Kemudian Pardomutua lahir. Beranjak besar, demang itu berniat menyekolahkannya. Untuk itu Pardomutua menjadi anak angkat demang itu. Dia tinggal di rumah demang itu. Kemudian diapun dikristenkan. Ompu Silangit hanya dikabari. Dia tidak pernah menginjak lantai gereja.” (hal. 63).
Baca: Di Novel Bumi Manusia, Sosok Annelies yang Bakal Diperankan Mawar Eva Digambarkan Secantik Ini
Jadi, menolak ayah tidak hanya berarti menolak untuk tinggal bersamanya, tapi bisa juga menolak marga, suku, atau agamanya. Bahkan, pemberontakan daerah pun bisa dianggap sebagai anak (tentara daerah) menolak ayah (pemerintah pusat).
Setelah selesai membaca saya tertarik pada satu isu, yakni, bagaimana nasib anak manusia, yang digambarkan dalam novel ini, yang harus menempuh jalan hidup sedemikian rupa, bukan sebagai pilihan bebas dan sadar, lebih sebagai keterpaksaan, dikarenakan perang.
Mulai dari perang fisik sampai dengan perang spiritual (kepercayaan). Mulai dari perang antarbangsa, antarsuku, sampai dengan perang ayah dan anak, suami dan istri.
Perang mengubah jalan hidup tiga generasi, bahkan satu suku: Batak. Dimulai dengan Ompu Silangit, yang ikut serta dalam Perang Batak, yaitu perang antara Si Singamangaraja XII melawan Belanda.
Adapun alasanya dijelaskan dalam kutipan ini: “Lalu sewaktu Belanda menyerbu ke sini, membakari huta-huta, menghancurkan Bakkara, memerangi Si Singamangaraja. Orang Batak, terutama orang-orang marga kita, ikut berperang ketika itu, tidak lain karena kita harus menjaga keselamatan raja kita.” (hal. 25).
Setelah Si Singamangaraja gugur, dia ditangkap, dan untuk waktu yang lama dipenjarakan Belanda, kemudian dibebaskan, menetap di kampung orang, karena ruma bolon di kampungnya telah dimusnahkan Belanda dan Jepang.
Kemudian anaknya, Pardomutua, sewaktu muda dia bergabung dengan tentara Jepang, meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil, berperang di Makassar, dan berbagai tempat di wilayah timur, lalu setelah kemerdekaan, dia menyeberang ke Jawa, lalu menikah lagi di sana dan punya tiga orang anak.