Sleman
Memanfaatkan Air Hujan dengan Memanennya
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi dan memanfaatkan air hujan dengan benar.
Penulis: Santo Ari | Editor: Ari Nugroho
TRIBUNJOGJA.COM, SLEMAN - Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi dan memanfaatkan air hujan dengan benar.
Seperti yang telah dilakukan Komunitas Banyu Bening dan Pemerintah Kabupaten Sleman beberapa waktu lalu dengan menggelar Kenduri Banyu Udan.
Dalam kegiatan tersebut, masyarakat diajarkan untuk bagaimana mengelola air hujan agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untul kehidupan sehari-hari.
Di Sleman, Ketua Komunitas Banyu Bening, Sri Wahyuningsih menyatakan bahwa air hujan memiliki potensi jika dikelola dengan tepat.
Terlebih saat ini juga tengah memasuki musim hujan.
Terkait hal ini, memanen air hujan diperlukan sebagai upaya mengantisipasi dampak kekeringan yang terjadi saat musim kemarau berkepanjangan.
Baca: Kongres Memanen Air Hujan, Upaya Selamatkan Air
Pakar Hidrologi dari Fakultas Teknik UGM Dr. Agus Maryono mengatakan hal itu bisa dilakukan oleh masyarakat saat musim hujan berlangsung.
Sama halnya dengan mengatasi banjir, Agus juga menekankan pentingnya mengantisipasi masalah kekeringan.
Agus Maryano menjelaskan bahwa kebiasaan memanen air hujan tidak biasa dilakukan oleh masyarakat saat ini.
Padahal disebutnya, dulu masyarakat sangat akrab dengan mengelola air hujan, namun kini masalah air sudah diserahkan ke urusan teknis, yakni dengan menyerahkankannya ke PDAM atau bagian irigasi untuk pertanian.
Akhirnya ketika musim kemarau datang banyak daerah yang kekurangan air.
Agus Muryono menjelaskan kekeringan saat musim kemarau dapat diantisipasi dengan memaksimalkan air hujan yang turun dengan cara membuat bak penampung atau menyalurkannya ke dalam sumur. Kegiatan itu bisa dilakukan selama 4-6 bulan selama musim hujan.
"Menampung air hujan sangat bagus untuk mengurangi ketergantungan penduduk terhadap PDAM. Petani juga bisa memanfaatkan air hujan dengan membuat sumur atau kolam di sekitar lokasi pertanian," terangnya.
Ia menerangkan, panen hujan bisa dilakukan dengan mengalirkan air hujan dari atap melalui pipa air menuju sumur.
Namun bila tidak memiliki sumur bisa dilakukan dengan menggunakan bak penampung.
Agar air tidak kotor maka dapat digunakan penyaring sederhanan dengan berbahan kain atau kaus.
Baca: Pemanfaatan Air Hujan, Solusi untuk Masalah Kurangnya Air Bersih
Agus menjelaskan, Indonesia memiliki air hujan yang masih layak dikonsumsi.
Ia pun telah sudah melakukan penelitian tentang tingkat keasaman air hujan di berbagai daerah di Indonesia seperti di Yogyakarta, Bali, Bogor dan Jakarta.
Dari hasil temuan tersebut rata-rata tingkat derajat keasaman (pH) air hujan mencapai 7,2 hingga 7,4.
"Air hujan layak untuk dikonsumsi, namun untuk air hujan pertama hingga ketiga sebaiknya jangan dulu dikonsumi, karena masih berisi debu dan polusi lainnya. Tapi tetap bisa digunakan untuk keperluan lainnya," paparnya.
Namun demikian, meski di beberapa wilayah telah merasakan hujan, namun bukan berarti masalah air bersih di Gunungkidul sudah teratasi.
Seperti di Dusun Dringo, Desa Girijati, Kecamatan Purworsari-Gunungkidul, walaupun hujan telah mengguyur beberapa kali dalam sebulan terakhir, sumur-sumur disekitaran rumah warga masih belum terisi oleh air, sehingga warga setempat masih harus berburu air bersih untuk keperluan sehari-hari.
Maka dari itu, Global Wakaf-ACT DIY terus berupaya memutus permasalahan mendasar di Gunungkidul dengan program pembangunan sumur wakaf.
Langkah ini menjadi fokus utama untuk menyelesaikan masalah kekeringan di Kabupaten Gunungkidul dan sekitarnya.
Penanggung jawab program Sumur Wakaf Kharis Pradana menyampaikan saat ini sudah ada 16 titik sumur wakaf di sekitaran DIY, 13 diantaranya telah dibangun di Kabupaten Gunungkidul.
Melalui kegiatan ini, ia berharap warga tidak mengalami kekurangan air bersih lagi saat musim kemarau tahun depan.(TRIBUNJOGJA.COM)