Kisah Pilot Kamikaze, Pulang ke Markas dalam Kondisi Babak Belur
Pilot-pilot kamikaze Jepang yang diterjunkan ke medan perang untuk melancarkan serangan bunuh diri umumnya tewas bersama pesawat
Ketika terbang di atas Semenanjung Satsuma, pinggiran Kyushu, perasaan Hamazono kembali terkesiap karena wilayah di bawahnya merupakan tempat bermainnya semasa kecil.
Hamparan sawah, gedung Sekolah Menengah Pertama dan lapangan yang dulu menjadi tempatnya bermain terlihat sangat jelas.
Bahkan secara imajinatif, Hamazono merasa kepala sekolah SMP sedang berdiri dan melihat pesawatnya.
Hawa dingin terasa mengalir di dalam tubuh Hamazono disusul bulu kuduknya yang tiba-tiba berdiri karena ia sadar tak lama lagi akan meninggalkan semua kenangan indah itu selamanya.
Ketika terbang melintas di atas kaki Gunung Kaimondake, gunung api yang masih satu barisan dengan gunung yang sangat dihormati di Jepang, Gunung Fuji, Hamazono mengangkat tangannya untuk memberi hormat.
Beberapa menit kemudian pesawat Aichi mulai melintasi Semenanjung Satsuma dan memasuki lautan Pasifik. Kini pusat perhatian Hamazono dan navigator Nakajima hanyalah pada misi tempur yang akan segera menuntaskan tugas mulia sekaligus nyawanya.
Tangan Hamazono tergetar ketika mulai melepas panel pengaman kelima bom dan laju pesawat terus melesat menuju perairan Okinawa.
Cuaca di atas Pasifik yang sedang memburuk menjadi berkah sendiri bagi flight kamikaze karena bisa terlindung dari sergapan pesawat Corsair Sekutu.
Hamazono bahkan tidak bisa melihat satu dari tiga pesawat kamikaze yang terbang bersamanya karena terhalang kabut dan awan tebal.
Di sini ia terlibat dalam peperangan udara selama 35 menit melawan para penerbang Amerika.
Pesawatnya benar-benar babak belur, dengan 78 lubang peluru di pesawatnya.
Ia tak jadi melaksanakan kamikaze, melainkan memutuskan untuk kembali ke Pangkalan Udara Angkatan Darat Chiran.
Sayangnya pangkalan udara ini belum menyalakan lampu pandu pendaratan. Sehingga ia pun melakukan pendaratan darurat di landasan pacu sepanjang enam kilometer.
Hamazono berhasil mendarat, ia selamat meski dengan pesawat yang babak belur dan ia juga menderita luka.
Selama proses penyembuhan, Hamazono kembali bertugas pada Agustus 1945 dan segera ditugaskan untuk melaksanakan serangan khusus lagi. Akan tetapi, perang berakhir sebelum ia menuntaskan misi.
Ia bangga karena telah mempertahankan negaranya, namun Hamazono memiliki pandangan lain setelah misi tersebut.
Ia menilai bahwa kamikaze merupakan eksploitasi sistematis pilot jepang yang merupakan bentuk kesalahan para pemimpin. Dia percaya bahwa kesalahan mendasarnya adalah adanya keyakinan bahwa seseorang harus mati untuk membela negaranya. Ini merupakan kesalahan tafsir dalam pertahanan jepang.
"Kamikaze merupakan adalah jenis tindakan terburuk dalam memperlakukan kehidupan manusia yang berharga seolah-olah mereka adalah objek," katanya.
Setelah perang, Hamazono pertama kali kembali ke kehidupan awal sebagai seorang nelayan.
Ia kemudian, kemudian bergabung dengan Pasukan Bela Diri Maritim Jepang.
Setelah pensiun, dia sekali lagi menjadi nelayan.
Kisahnya juga diangkat dalam sebuah film berjudul Hotaru (2001).
Dalam sebuah wawancara tahun 2005 dengan Times of London, ia berbicara tentang versi romantis dari sejarah di mana para pilot muda Jepang mengajukan diri untuk tugas bunuh diri secara massal.
Dalam kenyataannya cukup banyak yang merasa terpaksa.
"Mereka dulu mengatakan kepada kami bahwa kata-kata terakhir dari para pilot adalah 'Long Live the Emperor!' Tetapi saya yakin itu bohong. Mereka meneriakkan apa yang juga saya katakan, yakni memanggil ibu mereka," tandasnya. (*)
Sumber : Intisari