Kisah Pilot Kamikaze, Pulang ke Markas dalam Kondisi Babak Belur
Pilot-pilot kamikaze Jepang yang diterjunkan ke medan perang untuk melancarkan serangan bunuh diri umumnya tewas bersama pesawat
TRIBUNJOGJA.com - Pilot-pilot kamikaze Jepang yang diterjunkan ke medan perang untuk melancarkan serangan bunuh diri umumnya tewas bersama pesawat yang ditabrakkan ke sasaran.
Sasaran di sini, tak lain dan tak bukan, adalah tentara-tentara Sekutu.
Tapi ternyata ada juga pilot kamikaze yang selamat gara-gara misinya disergap pesawat tempur Sekutu dan kemudian berhasil mendarat di pangkalannya kendati dalam kondisi babak belur.
Pengalaman itu dialami Letnan Dua Penerbang Shigeyoshi Hamazono dan navigatornya, Ltda Kazuo Nakajima.

Ketika pasukan Sekutu berencana menyerbu pulau penting Okinawa yang merupakan batu loncatan untuk mendarat di Jepang, pasukan Jepang, khususnya kekuatan udaranya segera bersiaga.
Persiapan tempur yang dilakukan militer Jepang bahkan sangat ekstrem karena mereka akan melancarkan serangan bunuh diri menggunakan pesawat tempur yang dimuati penuh bom. Aksi yang kemudian dikenal sebagai kamikaze.
Upaya untuk melaksanakan serangan kamikaze itu menghadapi kendala karena militer Jepang telah banyak kehilangan pesawat tempur dan pilot berpengalaman.
Kendati kekurangan pilot dan pesawat tempur, militer Jepang tetap membentuk tim kamikaze yang terwadahi dalam Special Attack Unit (Tokubetsu Kougekitai).
Tim Kamikaze Jepang awalnya terdiri dari pilot-pilot angkatan laut yang memiliki kriteria tertentu, tapi tak lama kemudian pembentukan tim kamikaze juga diikuti oleh angkatan darat Jepang.
Unit-unit kamikaze AL Jepang sebenarnya sudah terbentuk ketika pasukan Sekutu mulai mendaratkan pasukannya di Filipina (1944).
Sejumlah pilot kamikaze Jepang bahkan sudah berguguran ketikaa mereka menyerang armada AL Sekutu dalam Battle of Leyte.
Pilot-pilot kamikaze dari 582nd Naval Air Unit yang terbang dari Rabaul itu merupakan rekan-rekan Hamazono.
Setelah Filipina berhasil direbut Sekutu, para pilot 582nd dan sejumlah pesawatnya ditarik ke Jepang dan bermarkas di Hyakurihara Air Base.
Tugas utama para pilot di Hyakurihara adalah menghadang pasukan Sekutu yang akan mendarat di Jepang.
Karena pertahanan terakhir pulau terluar Jepang adalah Okinawa, AL dan AD Jepang pun menyiapkan kekuatan yang dimiliki khususnya kamikaze guna melaksanakan serangan habis-habisan.
Sewaktu para petinggi di Hyakurihara Air Base akhirnya mengumumkan akan segera membentuk unit kamikaze terkait pasukan Sekutu yang mulai menggerakkan pasukannya ke Okinawa, Hamazono tidak terkejut.
Sebagai pilot tempur yang sudah berpengalaman di Rabaul, ia bahkan yakin dirinya akan segera dipanggil untuk bergabung dengan unit kamikaze dan itu berarti hidupnya tidak lama lagi akan berakhir.
Hamazono akhirnya memang dipanggil oleh Komandan skadron untuk menjadi pilot kamikaze. Namun untuk memenuhi kriteria tertentu, sejumlah calon pilot kamikaze ternyata harus menjalani tes terlebih dahulu.
Hamazono bersama 15 pilot lainnya kemudian menjalani tes kemampuan terbang pilot kamikaze, mulai dari tes fisik dan keterampilan menerbangkan pesawat tempur.
Dari semua pilot yang menjadi kandidat untuk melancarkan serangan kamikaze, ternyata hanya ada tiga pilot yang memiliki pengalaman terbang tempur di kepulauan Solomon (Battle of Solomon Island).
Namun karena sedang dalam kondisi kekurangan pilot dan pesawat, apapun dimanfaatkan oleh militer Jepang untuk melancarkan misi serangan kamikaze.
Kepastian bahwa dirinya menjadi pilot kamikaze membuat Hamazono yang semula telah maklum ternyata ciut nyalinya.
Pada dasarnya Hamazono yang pada saat itu berusia 21 tahun adalah orang yang mencintai kehidupan.
Sewaktu terbang ia sangat menyukai pemandangan alam yang terbentang di bawahnya. Terbang bagai burung, itulah yang memotivasi Hamazono untuk menjadi pilot tapi sama sekali bukan pilot kamikaze.
Minggu-minggu berikutnya sebelum dirinya melaksanakan misi terbang kamikaze, Hamazono bahkan selalu mendapat mimpi buruk dan hanya bisa melampiaskan kegelisahannya dengan menonton film di bioskop yang berada di kawasan Hyakurihara.
Pesawat tempur yang dipersiapkan militer Jepang untuk melancarkan serangan kamikaze karena dalam kondisi kekurangan pesawat merupakan pesawat jenis lama, umumnya pembom Aichi D3A Type 99 yang dioperasikan Jepang pada saat awal PD II meletus.
Pesawat pembom dua awak yang oleh Sekutu diberi code name “Val” itu selama ini hanya digunakan oleh AL Jepang untuk melatih calon penerbang dan tidak difungsikan sebagai pesawat tempur taktis.
Sebagai pesawat tua yang harus menghadapi pesawat penyergap Sekutu yang saat itu terbilang modern, seperti Vouhgt F4U Corsair, Aichi yang kemampuan mesinnya terbatas benar-benar tidak akan berdaya.
Pada saat itu baik kapal perang maupun para penerbang tempur Sekutu juga sudah mempelajari bagaimana menghadapi taktik serangan kamikaze di Filipina.
Sehingga kemampuan tempur Sekutu itu akan menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi oleh para pilot kamikaze Jepang.
Namun, karena tak ada pilihan lain, pesawat tua yang kurang lincah bermanuver saat dimuati bom dan persenjataan lainnya itu tetap akan segera dioperasikan oleh unit kamikaze Hamazono, yakni Kikusui No.1.
Ketika pasukan sekutu akhirnya melancarkan invasinya ke Okinawa pada April 1944, unit kamikaze Kikusui No.1 pun siap melancarkan serangan kamikaze.
Jantung Letnan Hamazono berdegup kencang ketika unit kamikazenya meninggalkan pangkalan Hyakurihara untuk menuju pangkala Kokubu No.2 yang berlokasi di sebelah selatan Kyushu.
Dari Kyushu para penerbang kamikaze akan menuju Okinawa, menempuh jalur udara di atas laut selama 2,5 jam.
Selama penerbangan, pesawat kamikaze akan mendapat tantangan tersendiri dari pesawat tempur Sekutu yang rutin terbang patroli.
Sebelum sampai di atas perairan Okinawa, pesawat kamikaze akan melintasi pulau Amani yang telah dikuasai Sekutu.
Jadi jika ada pesawat kamikaze yang tertembak dan bermaksud melarikan diri, hanya ada dua pilihan yaitu mendarat di laut atau balik ke Kyushu sambil terus diburu oleh para fighter Sekutu.
Hamazono yang terbang besama navigator sekaligus rear gunner yang belum berpengalaman, Nakajima (19 tahun), merasa mendapat surprise waktu mendarat di Kokubu Air Base, Kyushu.
Tiba di kawasan Kokubu berarti pulang ke kampung halamannya sendiri.
Menyadari bahwa hanya dalam hitungan hari dirinya akan segera meninggalkan pemandangan kampung halaman yang bergunung-gunung dan memiliki persawahan yang subur untuk selamanya, peasaan Hamazono benar-benar tercabik-cabik.
Hari-hari menjelang pelaksanaan terbang kamikaze pun terasa seperti menghitung hari untuk menjalani hukuman mati.
Tepat pada 6 April pukul 14.00, Hamazono bersama Nakajima serta flight kamikaze lainnya bersiap lepas landas dari pangkalan Kokubu untuk melaksanakan misi kamikaze.
Sebelum terbang, Hamazono mengecek terlebih dahulu pesawat pembom Aichi yang membawa bom seberat 250 kg di bawah fuselage pesawat dan dua bom tambahan seberat 60 kg di masing-masing sayap.
Dengan tanki bahan bakar diisi penuh dan lima bom yang diangkutnya, agar bisa take off secara mulus Aichi harus digeber mesinnya maksimal. Berkat pengalaman terbang tempurnya, Aichi berhasil lepas landas dan tak lama kemudian posisi terbangnya sudah berada di ketinggian 200 meter.
Hamazono sengaja mempertahankan posisi terbangnya pada ketinggian 200 meter dan berusaha menikmati pemandangan di bawahnya.
Ketika terbang di atas Semenanjung Satsuma, pinggiran Kyushu, perasaan Hamazono kembali terkesiap karena wilayah di bawahnya merupakan tempat bermainnya semasa kecil.
Hamparan sawah, gedung Sekolah Menengah Pertama dan lapangan yang dulu menjadi tempatnya bermain terlihat sangat jelas.
Bahkan secara imajinatif, Hamazono merasa kepala sekolah SMP sedang berdiri dan melihat pesawatnya.
Hawa dingin terasa mengalir di dalam tubuh Hamazono disusul bulu kuduknya yang tiba-tiba berdiri karena ia sadar tak lama lagi akan meninggalkan semua kenangan indah itu selamanya.
Ketika terbang melintas di atas kaki Gunung Kaimondake, gunung api yang masih satu barisan dengan gunung yang sangat dihormati di Jepang, Gunung Fuji, Hamazono mengangkat tangannya untuk memberi hormat.
Beberapa menit kemudian pesawat Aichi mulai melintasi Semenanjung Satsuma dan memasuki lautan Pasifik. Kini pusat perhatian Hamazono dan navigator Nakajima hanyalah pada misi tempur yang akan segera menuntaskan tugas mulia sekaligus nyawanya.
Tangan Hamazono tergetar ketika mulai melepas panel pengaman kelima bom dan laju pesawat terus melesat menuju perairan Okinawa.
Cuaca di atas Pasifik yang sedang memburuk menjadi berkah sendiri bagi flight kamikaze karena bisa terlindung dari sergapan pesawat Corsair Sekutu.
Hamazono bahkan tidak bisa melihat satu dari tiga pesawat kamikaze yang terbang bersamanya karena terhalang kabut dan awan tebal.
Di sini ia terlibat dalam peperangan udara selama 35 menit melawan para penerbang Amerika.
Pesawatnya benar-benar babak belur, dengan 78 lubang peluru di pesawatnya.
Ia tak jadi melaksanakan kamikaze, melainkan memutuskan untuk kembali ke Pangkalan Udara Angkatan Darat Chiran.
Sayangnya pangkalan udara ini belum menyalakan lampu pandu pendaratan. Sehingga ia pun melakukan pendaratan darurat di landasan pacu sepanjang enam kilometer.
Hamazono berhasil mendarat, ia selamat meski dengan pesawat yang babak belur dan ia juga menderita luka.
Selama proses penyembuhan, Hamazono kembali bertugas pada Agustus 1945 dan segera ditugaskan untuk melaksanakan serangan khusus lagi. Akan tetapi, perang berakhir sebelum ia menuntaskan misi.
Ia bangga karena telah mempertahankan negaranya, namun Hamazono memiliki pandangan lain setelah misi tersebut.
Ia menilai bahwa kamikaze merupakan eksploitasi sistematis pilot jepang yang merupakan bentuk kesalahan para pemimpin. Dia percaya bahwa kesalahan mendasarnya adalah adanya keyakinan bahwa seseorang harus mati untuk membela negaranya. Ini merupakan kesalahan tafsir dalam pertahanan jepang.
"Kamikaze merupakan adalah jenis tindakan terburuk dalam memperlakukan kehidupan manusia yang berharga seolah-olah mereka adalah objek," katanya.
Setelah perang, Hamazono pertama kali kembali ke kehidupan awal sebagai seorang nelayan.
Ia kemudian, kemudian bergabung dengan Pasukan Bela Diri Maritim Jepang.
Setelah pensiun, dia sekali lagi menjadi nelayan.
Kisahnya juga diangkat dalam sebuah film berjudul Hotaru (2001).
Dalam sebuah wawancara tahun 2005 dengan Times of London, ia berbicara tentang versi romantis dari sejarah di mana para pilot muda Jepang mengajukan diri untuk tugas bunuh diri secara massal.
Dalam kenyataannya cukup banyak yang merasa terpaksa.
"Mereka dulu mengatakan kepada kami bahwa kata-kata terakhir dari para pilot adalah 'Long Live the Emperor!' Tetapi saya yakin itu bohong. Mereka meneriakkan apa yang juga saya katakan, yakni memanggil ibu mereka," tandasnya. (*)
Sumber : Intisari