Marita Lorenz, Kekasih Fidel Castro Sekaligus Calon Pembunuh Sang Comandante
Marita Lorenz merupakan kekasih Fidel Castro sekaligus pembunuh bayaran yang ditugaskan Habisi Sang Comandante
Pada pertengahan November 1963, Sturgis memanggil Lorenz dan mengatakan bahwa sudah waktunya untuk melakukan perjalanan.
Kelompok anti-Castro, Sturgis, dan Oswald melompat ke dalam dua mobil yang penuh dengan senjata.
“Tidak ada waktu untuk berhenti dan tidur … semua orang tampak seperti zombi dalam perjalanan, bahkan ketika sedang dalam pengaruh kokain,” ujar Lorenz.
Ketika akhirnya Lorenz bertanya ke mana akan pergi dan apa yang mereka lakukan, salah satu dari mereka menjawab: “Kita akan membunuh Kennedy.” Waktu itu Lorenz berpikir itu hanya bercanda.
Ketika sampai di Dallas, mereka memesan kamar hotel dan segera, seorang pria bertubuh gemuk muncul. Ia tampak seperti seorang gangster dan tidak mengerti kenapa Lorenz ada di sana.
“Apa yang dilakukan perempuan ini di sini?” laki-laki, yang ternyata bernama Jack Ruby itu, bertanya kepada Sturgis.
Pertanyaan itu membuat Lorenz dengan senang hati meninggalkan tempat itu dan langsung menuju bandara. Lebih lagi ia sudah kangen dengan putrinya.
Di tengah penerbangan, kapten pilot tiba-tiba memberi pengumuman bahwa pesawat yang mereka tumpangi telah dialihkan ke Newark karena ada keadaan darurat di Dallas. Seketika Lorenz sadar, bahwa apa yang direncanakan teman-temannya tidak main-main.
“Oh, Tuhan. Semoga tidak jadi,” pikirnya saat itu.
( Dan kita tahu, Kennedy akhirnya tewas terbunuh oleh Lee Harvey Oswald. Dua hari setelah ia ditangkap, Oswald ditembak mati oleh Jack Ruby dalam siarang langsung televisi)
Sturgis, yang meninggal pada 1993, mengatakan kepada Vanity Fair bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Oswald, walaupun namanya ditemukan di buku telepon si pembunuh.
Sturgis juga menyebut Lorenz sebagai pembohong yang melebih-lebihkan. Lebih dari itu, Sturgis juga menyebutnya sebagai perempuan yang rela melakukan apa pun demi uang.
Meski demikian, artikel di Vanity Fair itu menyebut bahwa semua yang disampaikan Lorenz terkait tragedi Dallas benar adanya.
Limabelas tahun kemudian, ketika Lorenz dipanggil untuk bersaksi di depan House Select Committee on Assassinations, ia memberi tahu komite apa yang ia tahu tentang perjalanan ke Dallas itu. Tapi kesaksian itu tidak bisa dijadikan pedoman.
“Lorenz telah memberikan informasi di masa lalu, beberapa di antaranya dapat diandalkan, bagaimanapun, ia memang punya kecenderungan untuk membesar-besarkan,” tulis majalah itu mengutip laporan FBI tahun 1980-an.
Dalam upaya menemukan Perez Jimenez supaya mau mengasuh putri mereka, Monica, Lorenz terbang ke Venezuela. Di sana petugas intelijen militer sudah menunggunya.
Petugas itu kemudian menerbangkannya ke bagian terjauh dari hutan hujan Venezuela, menurunkannya, dan terbang lagi. Lorenz bilang bahwa ia “dibuang” untuk tinggal bersama suku Yanomami selama delapan bulan.
“Saya masih menangis saat memikirkan pesawat yang terbang itu,” katanya—meskipun hidupnya di sana sangat indah dibanding di Amerika.
Tak butuh lama, Lorenz sudah bisa mengadopsi kebiasaan suku itu. Ia mandi di sungai Orinoco dan berburu piranha. Ia membuat keranjang dengan para perempuan suku itu, memilih buah beri, mengingu monyet dan kura-kura, dan bahkan punya gebetan , seorang pria manis bernama Catchu.
Tapi kebahagiaan itu sirna setelah ibunya berhasil menemukannya dan membawanya pulang ke Amerika.
Ketika sampai Amerika, ia “terjerumus” lagi.
Melalui seorang teman yang kebetulan berpacaran dengan anggota keluarga kriminal Colombo, Lorenz masuk ke dunia mafia.
“Meski tampaknya kontradiksi, saya merasa aman dengan mafia,” tulisnya. “Saya merasa bahagia dan santai untuk pertama kalinya dalam hidup.”
Kelompok mafia itu memanggilnya dengan “Mata Hari dari Karibia” dan begitu menghormatinya.
“Mereka menganggap saya bisa dipercaya dan mereka tahu saya bisa menyimpan rahasia,” tulisnya.
Dengan kelompok barunya ini, Lorenz mengunjungi banyak tempat, menari sepanjang malam, minum koktail dan vodka Kuba sebanyak-banyaknya.
Dari sinilah ia bertemu dengan seorang mafia Yahudi—anggota “Kosher Nostra”—bernama Eddie Levy. Tak lama kemudian, mereka pacaran.
Tapi ketika mereka pelesir menggunakan kapal pesiar ke berbagai tempat, Lorenz marah dan bertemu dengan pria lain. Namanya Louis Yurasits. Saat Lorenz hamil lagi ia bilang itu anak Yurasits, meski Levy mencintai anak itu seperti putranya sendiri.
Lorenz dan Yurasits akhirnya menikah, dan keduanya bekerja untuk FBI. Mereka berpura-pura menjadi pemilik dari sebuah bangunan bertingkat di East 87 Street sembari memata-matai diplomat dari negara-negara Blok Timur.
Mereka kemudian bercerai pada 1975 dan Yurasits meninggal pada 2009 lalu.
Anak mereka, Mark (47), sekarang tinggal di Brooklyn dan mengelola bisnis pemeliharaan akuarium dan mengelola artis untuk pesta anak-anak dan acara lainnya.
Monica, sekarang 52 tahun, mantan model Playboy, adalah aktris yang tinggal di Los Angeles. Lorenz sendiri bilang bahwa dirinya tidak punya keraguan tentang ayah-ayah dari anak-anaknya terlepas dari kehidupan cintanya yang beragam.
Seorang pengacara Perez Jimenez mengatakan bahwa diktator itu selalu menolak disebut ayah Monica, meski terus mengirim uang jajan untuk beberapa saat.
Sedangkan anaknya dengan Castro, setelah 22 tahun mencoba dengan sia-sia, Lorenz kembali ke Kuba pada 1981 dan diizinkan bertemu dengan Sang Comandante.
Setelah bertanya baik-baik, Castro menjawab bahwa anaknya baik-baik saja. Saat itu ia juga bertemu dengan seorang pemuda tampan berwajah seperti Castro.
“Apakah aku ibumu?” Lorenz bertanya padanya, dan memeluknya.
“Ia anak kami, saya percaya itu dengan pasti,” tulisnya.
Dalam waktu dekat, ia berencana terbang lagi ke Kuba dan meminta pemimpin Kuba saat ini, Raul Castro, memberinya izin bertemu dengan putranya. Konon, nama laki-laki itu adalah Andre dan kini sudah berusia 57 tahun.
Lorenz yakin bahwa Andre diambil darinya karena ia adalah orang Jerman-Amerika, dan pendukung Castro yakin bayi itu lahir ia akan bersekutu dengan Jerman dan AS untuk menghancurkan Kuba.
Anaknya, sejauh yang ia tahu, adalah seorang dokter anak yang tinggal di Kuba.
Ketika Castro meninggal pada 2016 lalu ia merasa hidupnya hancur.
“Ia adalah cinta (sejati) dalam hidupku. Ia masih ada secara spiritual bagiku. Ia merasuk ke tubuh, bukan di jiwa.”(*)
Sumber : INTISARI