Wali Murid SMP N 4 Pakem Protes Batasan Zonasi
Sedangkan zonasi diterapkan sebagai upaya pemerataan calon siswa, sekaligus mengurangi tingkat mobilitas penduduk.
Penulis: Azka Ramadhan | Editor: Ari Nugroho
Walau begitu, Agung menilai, sistem zonasi merupakan sebuah keniscayaan, yang sudah saatnya diterapkan.
Pasalnya, ia tidak memungkiri, untuk mewujudkan pemerataan pendidikan, salah satu langkah yang harus ditempuh, adalah sistem zonasi.
"Tapi, karena sistem pendidikan kita sudah dibangun sejak puluhan tahun lalu, dengan sistem seperti itu, tanpa memandang zonasi, jadi ya tidak bisa langsung. Dalam artian, harus ada pemerataan kualitas sekolahnya dulu," jelasnya.
Baca: Wali Kota Yogyakarta Janjikan Perwal Zonasi Terbit Awal April
Sementara itu, wakil komite SMP Negeri 4 Pakem, Imam Sujani, menuturkan bahwa dengan jarak zona 1 antara 0-5 kilometer, sama saja menutup peluang masyarakat yang tinggal di pinggiran untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah favorit.
"Kita harus jujur mengakui, di DIY, sekolah idaman itu kan kebanyakan di kota. Teman-teman yang hadir di sini, berada di luar 5 kilometer. Ada yang dari Pakem, Cangkringan, hingga Tempel. Mereka tentu keberatan, protes, karena jadi korban zonasi," tuturnya.
Imam mencermati, dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, sama sekali tidak dicantumkan batasan zonasi dan basisnya.
Sehingga, Pemda DIY harus lebih bijak dalam menerapkan batasan tersebut, untuk menghindari munculnya kawasan blankspot.
"Patokan 0-5 untuk zona 1 itu jangan diterapkan. Kita sudah melakukan kajian, ada 35 desa yang blankspot, atau tidak punya zona 1. Nah, ini kan diskriminatif, tentu harus ditinjau ulang. Standar zonasi memang relatif, yang penting jangan ada blankspot," tegasnya.
"Hasil kajian kami, untuk menghindari blankspot, zona 1 harusnya 12,8 kilometer. Tapi, kalau ngga mau repot, ya DIY jadikan satu zona saja. Itu tidak melanggar Permendikbud kok, kan itu tidak diatur, jadi kewenangan daerah," pungkasnya. (TRIBUNJOGJA.COM)