Dengan Modal Tak Sampai Rp 10 Juta, Pria Ini Sukses Menjadi Anggota DPRD

Pada Pemilu 2019, Philipus menyatakan kepada pendukungnya bahwa ia hendak berhenti menjadi anggota dewan.

Editor: Ari Nugroho
KOMPAS.com/FIRMANSYAH
Philipus Kami, anggota DPRD Ende, NTT 

TRIBUNJOGJA.COM, MINAHASA - Gemuruh tepuk tangan membahanai saat Wakil Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nasional (Damanas), Abdon Nababan, memperkenalkan Philipus Kami, anggota DPRD, Kabupaten Ende, NTT di Ruang dialog umum di Wanua Koha, Kecamatan Mandolong, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Rabu (14/3/2018).

"Masyarakat adat punya demokrasinya tersendiri dalam menentukan wakil rakyatnya dengan cost politik yang murah, Rp 2,5 juta dihabiskan Philipus saat mencalonkan anggota dewan," sebut Abdon.

Ratusan pasang mata peserta Rakernas Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) kelima di ruangan itu tertuju kepada Philipus.

Tampak santun dan sederhana, Philipus berdiri memperkenalkan diri.

Kepada Kompas.com seusai dialog yang bertemakan keterlibatan masyarakat adat dalam pemilu itu, Philipus bercerita dan berbagi tips bagaimana biaya murah yang ia keluarkan saat mencalonkan diri menjadi anggota DPRD.

Baca: Padat Karya di Gunungkidul Tak Terlaksana, Anggaran Dipangkas Tanpa Sebab

"Menjadi anggota dewan sebenarnya tak pernah terbersit dalam pikiran saya. Saya hanya petani kecil di Masyarakat Adat Saga, Kabupaten Ende," ujar Philipus.

Saat itu tahun 1984, ia berusia 28 tahun. Di kampung tempat ia tinggal dan bertani terdapat 16 komunitas adat tersebar di 19 desa di Kecamatan Datu Soko, Ende.

Ketenangan masyarakat adat yang umumnya bertani kopi terusik saat pihak Taman Nasional Kelimutu bermaksud meluaskan wilayah ribuan hektar.

"Perluasan kawasan taman nasional menyebabkan ribuan petani terancam terusir dari perkebunan yang telah mereka kelola secara temurun," kisahnya.

Merasa kehidupannya dan masyarakatnya terancam diusir, Philipus bekerja bersama ribuan warga menolak rencana perluasan kawasan taman nasional.

"10 tahun bersama masyarakat berjuang menolak rencana perluasan, barulah pada 1993 tuntutan agar kebun kopi dan masyarakat adat tidak terusir dipenuhi pemerintah.

Baca: Keren! Taman Nasional Bali Barat Torehkan Penghargaan Best Top 100 Destination di Jerman

Perjuangan panjang menyebabkan ada petani yang dipenjara, saya makin marah," kenangnya.

Permintaan masyarakat

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved