Resensi Buku
'Kusentuh Nuranimu Dengan Profesiku', Sekelumit Cerita dari Penjara Nusakambangan
Di Nusakambangan inilah beberapa narapidana kelas berat ditahan bahkan di eksekusi mati.
Sebut saja salah satu kisah JR, terpidana mati dari Palembang. Sebelum dieksekusi mati, JR telah mewasiatkan kepada penulis tentang pengurusan mayatnya sampai pemulangan jenazahnya.
“Bapak, kalau besok saya di eksekusi mati, saya ingin istri dan anak saya melihat jenazah saya untuk yang terakhir kalinya. Sudah sekian tahun mereka saya tinggalkan, tidak melihat wajah saya. Mohon bapak bisa bantu saya “. (hal. 45-55).
Sebelum dieksekusi regu tembak, JR memang akrab dengan penulis yang juga mengasuh pesantren At-Taubah Lapas Batu. Jauh sebelum vonis mati yang diterima terpidana, penulis mencoba mengajak para terpidana mati tersebut untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Penulis ingin mengatakan bahwa hukuman mati harus diterima sebagai konsekwensi hukum.
“Saya senang melihatnya sekaligus sedih ketika disuruh untuk menjemput JR dari dalam sel nya. Saya lihat ia tertidur pulas. Saya panggil dua kali. Dia tidak bergeming dan tidurnya sangat pulas. Dalam hati saya senang karena beliau sudah melupakan bahwa akan dihukum mati. Setelah panggilan ketiga ia baru bangun dan kemudian dengan tenang mengenakan pakaian yang harus dipakainya sebelum di eksekusi. Saya menemaninya sampai pengeksekusian terjadi,“ (hal.53)
Ada juga kisah seorang terpidana mati asal Nigeria yang memanggilnya ‘Papih’. Menurut penulis, ini karena kedekatan yang dibangun antara beliau sebagai petugas lapas dengan tahanan sebagai santri At-Taubah.
Cerita kisah ini tak kalah sedih dan menyayat hati kita. Sebagaimana sebelum dieksekusi, MA alias HB, terpidana mati medio 2015, sempat mengatakan kata-kata terakhirnya. Seperti yang di tuturkan penulis dalam catatannya,
“Saya memapahnya untuk duduk dekat dengan istrinya. Terlihat ia saling berpandangan dan kemudian menangis. Dia bercerita kepada istrinya kalau semalam ia bermimpi menjadi mayat dan dibungkus kain kafan putih. “ Baunya wangi, Papih “. Penulis menjawab semoga mimpimu menjadi perlambang yang baik, putih artinya suci, kamu harus pegang tauhid, pegang Islam biar khusnul khotimah. Kemudian MA alias HB berucap “ Papih jangan lupa rawat jenazah saya secara muslim dengan baik, antar jenazah saya ke istri saya di jakarta “.
Kemudian dengan istrinya ia berpesan “ Istriku...nanti kaau saya mati, kamu jangan pindah agama ya...Kalau kamu pindah agama, nanti di akhirat kelak kita tidak bisa bertemu dan bersama. Istrinya hanya bisa menunduk dengan mata yang berkaca-kaca (hal. 56-62).
Masih banyak lagi kisah yang dituliskan penulis dalam buku ini. Masih beberapa terpidana yang didampinginya sampai eksekusi sampai mengantarkan jenazahnya seperti permintaan dan wasiat yang diberikan kepadanya.
Ada juga kisah terpidana mati RAB, seorang perampok, pembunuh dan pemerkosa yang juga sempat membunuh salah satu tahanan korupsi di dalam lapas. RAB yang sadis kemudian beralih menjadi santri yang aktif sebelum dieksekusi.
“Pak Edi, tolong sampaikan Al Quran ini pada istri saya untuk kenang-kenangan anak saya. Bapak sendiri yang harus memberikannya ya “ (hal. 63-69).
Itulah beberapa penggal kisah yang dituturkan penulis. Ada lagi kisah lainnya baik terpidana mati maupun tidak.
Dan penulis yang pernah dikirim untuk belajar di Inggris ini sangat memahami bahwa kita tidak bisa melihat bahwa mereka yang pernah di tahan atau yang sudah di eksekusi, kita anggap selalu buruk.
Ada banyak perubahan yang terjadi. Penulis ingin menyampaikan bahwa terkadang bukanlah mereka tidak berubah setelah keluar dari penjara. Tetapi kadang yang membuat mereka kembali berbuat jahat adalah karena stigma yang diterima saat ia bebas.