Stigma itu Membunuh Semangat Anak Jalanan

Memilih hidup dijalanan dan bertahan hidup dengan bekal seadanya bukanlah pilihan yang berasal dari lubuk hati para anak jalana

Penulis: app | Editor: Ikrob Didik Irawan
tribunjogja/ikrargilangrabbani
Petugas gabungan dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), Dinas Sosial DIY dan Kepolisian menggelar razia gepeng dan anak jalanan di seputar Kota Yogyakarta, Senin siang (1/2/2016). 

Laporan Reporter Tribun Jogja, Arfiansyah Panji Purnandaru

TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Memilih hidup dijalanan dan bertahan hidup dengan bekal seadanya bukanlah pilihan yang berasal dari lubuk hati para anak jalanan.

Setidaknya itulah yang disampaikan Antonius Dhimas Anindhito, mantan anak jalanan yang kembali menemukan tempatnya setelah menjadi bagian Timnas Indonesia yang berlaga dalam Homeless World Cup 2016.

Kompetisi tersebut adalah street soccer tahunan yang mengangkat isu sosial. Pada kesempatan itu, Dito sapaan akrabnya mengaku beruntung membela panji Indonesia di Skotlandia beberapa waktu lalu.

Tidak hanya itu, dari HWC itulah kepercayaan diri Dito untuk memulai kehidupan lebih baik meningkat.

"Teman-teman hidup di jalan karena cuma jalan yang bisa menerima mereka apa adanya. Banyak faktor penyebabnya seperti keluarga dan faktor kemiskinan," jelasnya, Rabu (12/10/2016).

Pria yang menjalani hidup di jalanan sejak 2010 hingga 2013 tersebut menceritakan bahwa ada beberapa cara para anak jalanan bertahan hidup.

Biasanya mereka akan terus menyambung hidup dengan mengamen maupun menjadi tukang parkir.

Dito menjelaskan, satu-satunya hal yang menghambat anak jalanan untuk bangkit adalah stigma.

Kata-kata tersebut menurutnya merupakan momok yang begitu menakutkan sekaligus menyakitkan.

"Saya ngutip tagline Rumah Cemara yaitu mewujudkan Indonesia tanpa Stigma. Stigma itu sangat membunuh," jelasnya.

Stigma buruk yang diberikan masyarkat kepada anak jalanan membuat mereka seakan pasrah dengan kehidupan yang dijalani.

Tidak mampu bangkit, tidak termotivasi dan terus berada didalam keterpurukan.

Dito berharap, agar masyarakat bisa lebih terbuka menilai anak jalanan.

Karena tidak semua anak jalanan itu perusuh, dan banyak dari mereka berada di jalan karena terpaksa.

Saat ini, Dito telah memiliki pekerjaan. Dirinya mengaku pengalaman berharga yang ia peroleh dari HWC terus ia sebarkan kepada teman-teman yang masih hidup di jalanan.

"Niatan saya, harus banyak orang yang merasakan keberuntungan yang saya rasakan. Yang paling realistis adalah sharing," ungkapnya.

Dito pun berharap masih ada tangan-tangan yang tulus untuk peduli dan mewadahi anak jalanan.

Tidak hanya memberi peraturan ketat dan main ciduk kepada anak jalanan.

Tetapi lebih kepada ngemong anak jalanan, karena pada dasarnya yang mereka butuhkan adalah perhatian.

"Anjing saja yang galak kalau sering diusap bisa nurut pada tuannya. Apalagi manusia?," tutupnya. (tribunjogja.com)

Sumber: Tribun Jogja
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved